China Menawarkan Resep Tatanan Baru
Kanselir Jerman Angela Merkel menyerukan pembentukan sebuah struktur baru global.
”Kita harus berpikir soal struktur yang terintegrasi dan saling bergantung,” kata Merkel di Munich Security Conference ke-55 pada 16 Februari 2019.
Pertanyaannya, struktur global seperti apa yang hendak dibentuk? Pertanyaan lebih jauh, siapa pihak yang paling berkepentingan dengan terbentuknya tatanan baru global?
Ketika tatanan global pasca-Perang Dingin ambruk, itulah yang diprihatinkan oleh Merkel. Tatanan global pasca-Perang Dingin adalah tatanan yang tidak holistik dan tidak mencakup suara seluruh negara di dunia secara berimbang.
Soal keinginan agar dunia memiliki struktur baru global, Merkel tanpa sadar mungkin merindukan penegakan tatanan era pasca-Perang Dingin.
Merkel menegaskan pentingnya Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ditegakkan kembali. Memang Merkel menegaskan pendekatan holistik, termasuk mendorong kekompakan ekonomi, politik, dan juga militer. Akan tetapi, NATO tidak mencakup seluruh dunia.
Tatanan global pasca-Perang Dingin adalah tatanan yang tidak holistik dan tidak mencakup suara seluruh negara di dunia secara berimbang.
Dia memohonkan multilateralisme, tetapi tetap dalam level yang terbatas. ”Kita membutuhkan NATO sebagai jangkar stabilitas di laut yang bergelombang. Kita memerlukannya sebagai sebuah komunitas yang menjunjung nilai bersama,” kata Merkel.
Merkel menambahkan, ”Kita sebaiknya jangan pernah melupakan bahwa NATO didirikan bukan sebagai aliansi militer semata, melainkan juga aliansi negara-negara yang berbagi soal nilai, hak asasi manusia, menghargai demokrasi, dan di dalamnya ada arahan-arahan yang kita miliki bersama.” Intinya, Merkel menekankan tatanan dunia baru dari dunia demokratis.
Ada banyak masalah
Itulah tatanan yang diinginkan Merkel, juga peran sentral NATO. Akan tetapi, ini pun menjadi masalah. Saat berbicara di Munich Security Conference, Wapres AS Mike Pence membawa misi Presiden AS Donald Trump.
Kehadiran Pence tidak memperlihatkan sikap rujuk antara AS-Eropa. Pence menyerang jaringan gas ke Jerman asal Rusia yang melewati Ukraina. Pence menyerang Eropa yang menentang bubarnya kesepakatan nuklir dengan Iran.
Ini gambaran Trans-Atlantik yang masih tidak solid.
AS tidak bisa berpaling dari sekutu Trans-Atlantik.
Meski demikian, Trump pasti tak akan menjadi pemimpin AS untuk selamanya. Mantan Wapres AS Joe Biden pada konferensi itu meyakinkan Eropa. AS tidak bisa berpaling dari sekutu Trans-Atlantik. Biden meminta Eropa bersabar hingga waktunya tiba. Ini merupakan potensi akan pulihnya NATO dan poros Trans-Atlantik.
Formula Barat
Jika AS dan Eropa kukuh kembali, tatanan global seperti apa yang akan dibentuk? Sejauh ini seruan pemunculan tatanan baru sebenarnya sama sekali tidak baru. Seruan itu hanya menekankan paradigma Barat yang mengagungkan sistemnya.
Tidak segan-segan, Barat meminta kekuatan lain untuk ikut ke dalam arus mereka. Pada 15 Februari 2019, juga di Munich Security Conference, Menlu Jerman Heiko Maas menyerukan China, Eropa, AS bekerja sama. Maas tidak menyebutkan Rusia, yang kini sedang mesra dengan China.
Walaupun mencoba mendekati China, paradigma pemikiran Eropa masih berdasarkan pola lama. Ada seruan penciptaan tatanan baru sesuai selera Eropa. Sebagai contoh agar bantuan China diintegrasikan ke dalam kerangka Paris Club, yang bermarkas di Paris.
Seruan itu hanya menekankan paradigma Barat yang mengagungkan sistemnya.
Menkeu Jerman Olaf Scholz, Jumat, 15 Februari 2019 ”mengajari” China. Dia mengatakan, agar China memiliki pemahaman besar tentang potensi krisis besar global masa mendatang.
Untuk itu, Scholz mengatakan, potensi krisis itu bersumber dari kucuran pinjaman China ke negara-negara berkembang. Dengan mengintegrasikan bantuan China ke dalam kerangka Paris Club, akan ada solusi buah koordinasi atas persoalan yang dihadapi negara-negara, penerima pinjaman dari China.
Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menyambut usulan Scholz. Lagarde mengatakan, Paris Club memiliki kemampuan analisis kuat seperti kata Menkeu Jerman itu.
Jika Barat, dalam hal ini Eropa, berani mengajarkan China tentang analisis atas risiko utang, bagaimana Eropa atau IMF yang dipimpin Lagarde melihat AS dengan besaran utang yang terus meningkat. Utang Eropa itu sendiri mayoritas di atas 200 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Ini melampaui batas aman yang dianjurkan IMF, maksimum 60 persen dari PDB.
Soal ini, Eropa juga senada dengan Mike Pence, yang mencurigai pinjaman China berpotensi ”menjerat” negara-negara berkembang.
Lepas dari itu, Scholz dan Lagarde sama-sama bersepakat bahwa kucuran pinjaman China ke negara berkembang tidak transparan dan punya misi terselubung. Soal ini, Eropa juga senada dengan Mike Pence, yang mencurigai pinjaman China berpotensi ”menjerat” negara-negara berkembang.
Juga ada seruan dari Merkel agar China tunduk pada traktat persenjataan. Ini merujuk pada kesepakatan tahun 1987 tentang Intermediate-range Nuclear Forces (INF) Treaty, dengan formula utama dari Barat.
Intinya, Barat menginginkan tatanan baru yang mereka kuasai, bukan tatanan yang menandakan sikap mau berbagi. ”Barat yakin pendekatan China tidak akan berhasil,” demikian Philip P Pan menuliskan artikel di harian AS The New York Times edisi 18 November 2018. Pan adalah editor Asia di harian The New York Times dan penulis buku Out of Mao’s Shadow.
Formula China
Tatanan baru harus dengan kolaborasi, seperti kata diplomat China Yang Jiechi yang berbicara di konferensi di Muenchen itu. Penekanan pada win-win solution, itulah yang selalu ditekankan Presiden China Xi Jinping.
Pidato utama Yang Jiechi dengan jelas menggambarkan keinginan China. ”Seperti ungkapan Jerman, mereka yang bekerja sendirian, menambahkan; mereka yang bekerja sama, menggandakan,” demikian pidato Jiechi.
”Ada ungkapan serupa itu di China, satu benang mudah putus dan pintalan puluhan ribu benang dapat menarik sebuah kapal. Bersama, mari kita bangun sebuah dunia yang lebih baik dan lebih makmur,” lanjut Jiechi.
Tidak berterima bagi China kekuatan hegemonik. ”Penggunaan dengan niat atau ancaman dengan kekuatan, hegemoni, dan politik kekuatan, harus ditolak,” kata Jiechi.
”Sejarah mengajarkan bahwa kita hanya dapat merealisasikan impian warga akan kehidupan yang lebih baik dengan memegang asas multilateralisme dan peningkatan kerja sama global.”
Kini, ”Tergantung kita untuk menangkap kecenderungan sesuai tuntutan eranya, untuk merespons seruan warga dengan mengambil pilihan tepat. China memiliki komitmen kuat untuk memajukan kerja sama internasional, asas multilateralisme yang lebih tertib dan berimbang,” tegas Jiechi.
Dalam pesan lewat Jiechi, China jelas tidak mau jika Rusia diabaikan. ”Berdasarkan arahan strategis dari para pemimpin, China dan Rusia akan berupaya meningkatkan kemitraan strategis menyeluruh. Tentu China tetap merupakan pendukung terdepan integrasi Uni Eropa dan menginginkannya lebih solid, stabil, dan makmur serta mendukung peran Eropa yang lebih penting dan konstruktif dalam urusan internasional,” kata Jiechi.
”China berkomitmen mengejar kepentingan yang baik dan saling berbagi lewat kolaborasi besar dan menginginkan hasil-hasil nyata berdasarkan asas persahabatan dan niat baik,” lanjutnya.
”Kita harus menolak hegemoni teknologi dan mengurangi kesenjangan digital agar manfaat Revolusi Industri Keempat dirasakan warga dari semua negara. Dengan bertambahnya tantangan global, tak ada negara yang bisa mengatasi itu sendirian dan tidak ada satu negara yang imun dari pengaruh yang terjadi di negara lain.”
”Seruan baru soal penguatan kepengurusan dan reformasi sistem global menggambarkan keadaan terkini. Kita harus kukuh mempertahankan peran sentral PBB soal urusan internasional dan juga menegakkan peraturan perdagangan global lewat Organisasi Perdagangan Internasional (WTO),” kata Jiechi.
”Kami yakin tujuan reformasi bukan merombak sistem global yang ada sekarang. China tidak menuntut penciptaan lembaga baru, tetapi lebih pada perbaikan atas kerangka yang ada. Sebab, dengan begitu akan tergambarkan realitas baru dan menampung keterwakilan suara-suara dari sejumlah negara berkembang,” katanya.
Jiechi memperlihatkan secara implisit alasan di balik itu semua. China, misalnya, kini memberi kontribusi 30 persen terhadap pertumbuhan ekonomi global, melebihi kontribusi dari negara mana pun di dunia.
Baca juga:
Tatanan Dunia Berkeping-keping
Perlombaan Senjata Belum Mengkhawatirkan
”Diperkirakan dalam 15 tahun mendatang, China akan mengimpor barang senilai 30 triliun dollar AS dan jasa sebesar 10 triliun dolar AS. Ini menginjeksikan dinamisme terhadap pertumbuhan global,” demikian Jiechi. (Full Text of Yang Jiechi\'s Keynote Speech at The 55th Security Conference)
Sudah jalan sendiri
Apakah Barat akan siap menerima seruan China? Akan tetapi muncul tidaknya tatanan baru sesuai keinginannya, China tidak terlalu hirau. China telah berjalan dengan pola sendiri. Seperti pernah dikatakan Deng Xiaoping bahwa hubungan dengan AS tidak akan pernah mudah.
Diam-diam China telah menjalankan strategi versinya, seperti dituliskan oleh Aaron Friedberg, Professor of Politics and International Affairs dari Princeton University lewat artikel berjudul ”Know: Thyself” pada 10 Januari 2019.
Friedberg adalah juga penulis buku A Contest for Supremacy: China, America and the Struggle for Mastery in Asia (Norton 2011) dan Competing With China (Survival, June-July 2018). (Getting The China Challenge Right)
Di sisi lain, kekuatan yang masih dominan, dalam hal ini AS, akan mencoba mempertahankan privilese dan secara alamiah akan menentang negara-negara yang bangkit. Untuk mengatasi hal ini, China melakukan taktik. Negara tirai bambu ingin membentuk kembali kawasan sekitar yang bisa melayani kepentingannya dengan lebih baik.
Hal seperti ini juga terjadi pada AS dengan penguasaan Western Hemisphere pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ini juga yang pernah terjadi pada Jerman di Eropa dan Jepang di Asia Timur.
Namun, ambisi China bukan lagi terbatas pada tetangga. China juga secara perlahan ingin mengubah tatanan dunia yang menguntungkan Barat. ”China mungkin tidak menginginkan perang, tetapi menjadikan AS dan aliansinya sebagai musuh untuk alasan konsolidasi di dalam negeri untuk menghadapi musuh,” kata Friedberg.
Lebih jauh lagi, strategi China bukan lagi semata-mata soal kekuatan perang, melainkan soal mempertahankan ideologi, sistem yang dimiliki negara itu. (AFP/AP/REUTERS)