AMBROSIUS HARTO, ADI SUCIPTO KISSWARA, IQBAL BASYARI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Jawa Timur bisa berbangga sebagai tulang punggung energi nasional. Provinsi berpenduduk 40 juta jiwa ini menyumbang 30 persen produksi minyak dan 10 persen produksi gas bumi nasional. Namun, keberadaan hampir 11 persen penduduk miskin menunjukkan ironi bahwa industri energi belum signifikan mempercepat kesejahteraan.
Menurut catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi harian minyak Jatim mencapai 260.000 barel (BOPD). Jumlah ini setara 30 persen produksi harian nasional yang 780.000 barel. Dari jumlah 232.000 barel itu, kebanyakan atau lebih dari 200.000 barel di antaranya didapat dari Blok Banyu Urip-Cepu di Bojonegoro yang dikelola oleh Exxon Mobile Cepu Limited melalui 30 sumur eksploitasi.
Kontribusi harian gas bumi Jatim yang bermottto Jer Basuki Mawa Beya mencapai 730 juta standar kaki kubik (MMSCFD). Jumlah itu setara hampir 10 persen produksi harian nasional yang 7.300 MMSCFD. Jatim merupakan satu-satunya provinsi yang sudah memiliki jaringan pemipaan gas bumi terkoneksi. Produksi gas bumi dari Jatim bisa dinikmati oleh industri listrik, pupuk, dan gas negara hingga tingkat rumah tangga.
Hal ini diungkap Kepala Departemen Operasi SKK Migas Perwakilan Jawa Bali Nusa Tenggara (Jabanusa) Indra Zulkarnain dalam Bincang Kompas “Industri Migas, Sekarang dan Masa Depan”, kerjasama dengan SKK Migas Jabanusa, HCML, PT Pertamina EP Asset 4 dan PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore pada Rabu (27/2/2019), di Surabaya.
Di Bojonegoro juga ada potensi gas bumi dari Jambaran Tiung Biru diperkirakan 170 MMSCFD
Dia menyebutkan, di Jatim saat ini terdapat 35 kontraktor kontrak kerja sama (K3S). Sebanyak 17 K3S sudah produksi atau eksploitasi dan 18 lainnya masih eksplorasi. “Di Bojonegoro juga ada potensi gas bumi dari Jambaran Tiung Biru diperkirakan 170 MMSCFD,” katanya.
Namun, menurut Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo, masih ada yang keliru dengan tata kelola migas di Indonesia termasuk di Jatim. Itu diperlihatkan dari keberadaan warga miskin yang mencapai hampir 11 persen dari populasi. Bojonegoro dengan sumbangan produksi migas terbesar di Indonesia bahkan termasuk dalam 10 kabupaten termiskin dari 38 kabupaten/kota di Jatim. “Berarti ada yang salah dalam tata kelola. Seharusnya, di Bojonegoro tidak boleh ada yang miskin,” katanya.
Berarti ada yang salah dalam tata kelola. Seharusnya, di Bojonegoro tidak boleh ada yang miskin
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, jumlah penduduk miskin di Bojonegoro lebih dari 163.940 jiwa. Itu setara hampir 13,2 persen dari populasi yang 1,25 juta jiwa. Bojonegoro berada di urutan sepuluh kabupaten/kota termiskin di Jatim. Padahal, menurut Suparto, industri migas seharusnya memakmurkan dan menyejahterakan daerah terutama warganya.
Pemakmuran dan penyejahteraan bisa ditempuh lewat program tanggungjawab sosial yang memberdayakan warga di sekitar lokasi produksi migas. Pemerintah daerah harus mengawasi dan turut memastikan program-program dari K3S bermanfaat dan memberdayakan warga untuk sejahtera.
Defisit
Adapun untuk produksi harian nasional yang 780.000 barel tidak sampai separuh dari konsumsi harian yang 1,6 juta barel. Akibatnya, defisit dipenuhi lewat impor. Padahal, dengan impor, anggaran negara terkuras terutama untuk bahan bakar minyak bersubsidi. Di sisi lain, pengembangan eksplorasi apalagi eksploitasi energi terbarukan dan atau energi alternatif belum menjadi arus utama untuk pengambilan keputusan. Populasi terus bertambah sehingga menjadi normal apabila konsumsi energi meningkat.
Untuk menekan defisit, SKK Migas dan operator berupaya fokus menemukan sumber cadangan migas baru. Jika sudah ketemu, masih harus dihitung nilai keekonomiannya. Padahal, itu belum termasuk rumitnya perizinan dengan 42 jumlah, penolakan dari kelompok masyarakat, dan persoalan fluktuasi harga di pasar minyak dunia.
Field Operation Manager PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) Muhammad Yani menyebutkan, perusahaan mengelola 78 sumur eksplorasi dan 80 sumur pengembangan didukung 16 anjungan dan 78 kilometer jaringan pipa gas. Dari produksi gas yang 130 MMSCFD, sebanyak 98 MMSCFD dipasok ke Pembangkitan Jawa Bali.
Sisanya ke Perusahaan Gas Negara dan PT Petrokomia Gresik. “Kami juga mendukung pembangunan produksi elpiji di Gresik dengan kapasitas 140 ton per hari untuk memenuhi kebutuhan elpiji hingga 40 persen di Jatim,” kata Yani.
Kami juga mendukung pembangunan produksi elpiji di Gresik dengan kapasitas 140 ton per hari untuk memenuhi kebutuhan elpiji hingga 40 persen di Jatim
Legal and Relation Manager PT Pertamina Eksplorasi Produksi Asset IV Mohammad Ibnu Wardhana mengatakan, perusahaan mengelola sumur migas dari Aceh dan Papua. Di Jatim dan Jateng yang dikelola diantaranya di Cepu, Sukowati, dan Bojonegoro.
Senior Head of Relations Husky Cnooc Madura Limited (HCML) Hamim Tohari memaparkan produksi gas mencapai 110 MMSCFD yang dipasok ke PGN, Petrokimia, dan 5.000 jaringan di Pasuruan dan Probolinggo. Tiga tahun mendatang, HCML menargetkan produksi gas 300 MMSCFD.
Suparto menyarankan, produksi digenjot untuk menipiskan defisit. Ini bisa ditunjang dengan perampingan perizinan. Selain itu, pemulihan lingkungan dan ketaatan pada hukum lingkungan harus dicapai. Masyarakat jangan selalu berpikir kompensasi tetapi diberdayakan sebagai mitra atau pendukung industri migas itu.