JAKARTA, KOMPAS —Para pemangku kepentingan terkait Pemilu 2019 perlu duduk bersama untuk mencari kesepahaman dan solusi guna mengatasi potensi kekurangan surat suara bagi pemilih pindahan. Selain untuk menjamin hak konstitusional pemilih, langkah itu juga dibutuhkan untuk menepis munculnya kegaduhan karena adanya sikap saling curiga.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum menemukan solusi atas potensi kurangnya surat suara di tempat pemungutan suara (TPS) tertentu karena melonjaknya jumlah pemilih pindahan. Kekurangan surat suara itu, antara lain, bisa terjadi di TPS di kawasan pertambangan. Namun, KPU tak bisa menambah surat suara karena dalam UU Pemilu diatur surat suara dicetak sesuai dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) ditambah 2 persen surat suara cadangan.
Beberapa opsi sempat muncul untuk mengatasi persoalan itu, yakni penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar memungkinkan KPU menambah surat suara, atau lewat pengaturan teknis guna memindahkan surat suara dari satu TPS ke TPS lain.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, di Jakarta, Selasa (26/2/2019), menuturkan, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada 6 Juli 2009 menegaskan, hak pilih warga negara merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, potensi kekurangan surat suara di TPS harus segera diantisipasi.
Apa pun opsi yang dipilih untuk mengatasi masalah ini, lanjut Anam, harus diambil melalui pembicaraan yang melibatkan pemerintah, DPR, serta KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selain untuk memunculkan kesepahaman bersama atas masalah ini, langkah itu juga bisa mengantisipasi munculnya saling curiga. Apalagi, belakangan ini muncul beragam disinformasi yang bisa mendelegitimasi proses pemilu. ”Kalau duduk bersama, lalu memunculkan pemahaman bersama, bisa menepis kecurigaan,” kata Anam.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, mengatakan, untuk mencari solusi utuh atas masalah ini, Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara perlu memanggil pemangku kepentingan. Saat ini, ujarnya, semua pihak sudah memberikan usulan, tetapi tak ada koordinasi sehingga pencarian solusi tidak terlalu efektif.
Segera ambil sikap
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, meminta KPU segera mengambil keputusan untuk melindungi hak pilih pemilih pindahan yang masuk daftar pemilih tambahan. Keputusan harus segera diambil karena pemungutan suara
17 April 2019 semakin dekat. Apalagi, hal ini juga berkaitan dengan penyediaan logistik bagi pemilih pindahan.
Ketua Bawaslu Abhan berpendapat, KPU masih bisa mengatasi persoalan tersebut dengan mengoptimalkan pemetaan potensi pemilih pindahan.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan, sejauh ini belum ada penyusunan rancangan perppu untuk pencetakan surat suara tambahan bagi pemilih pindahan. Pasalnya, belum ada permintaan dari KPU melalui Kementerian Dalam Negeri tentang hal itu.
Sementara itu, anggota KPU, Viryan Azis, memastikan KPU tidak akan meminta pemerintah menerbitkan perppu. Sebab, perppu masih perlu dibahas di DPR dan tidak menutup kemungkinan perppu itu ditolak dalam proses legislasi.
Menurut Viryan, opsi yang paling memungkinkan ialah uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. KPU mendorong masyarakat sipil untuk mengajukan uji materi.
Anggota Komisi II DPR, Achmad Baidowi, mengatakan, uji materi tak cukup hanya tentang aturan terkait pencetakan surat suara tambahan. Uji materi juga dibutuhkan untuk mengatur jaminan terhadap hak pilih warga, baik yang tercantum maupun tak terdata di DPT.
(SAN/INK/GAL/NWO/HAR)