JAKARTA, KOMPAS — Hubungan kerja sama bisnis antara Indonesia dan Korea Selatan semakin baik dan ditargetkan terus meningkat ke depan. Perusahaan Korsel mendukung perekonomian Indonesia, salah satunya melalui penyediaan lapangan kerja. Pekerjaan rumah utama ke depan di antaranya adalah untuk memastikan regulasi mengenai upah minimum betul-betul diterapkan oleh para perekrut.
Duta Besar Korsel untuk Indonesia Kim Chang Beom mengatakan, total nilai perdagangan antara Indonesia dan Korsel pada 2018 mencapai 18,6 miliar dollar AS atau naik 12,4 persen dibandingkan 2017. Pada akhir 2020, angka itu ditargetkan 20 miliar dollar AS.
Selain itu, Korsel merupakan negara investor nomor 5 terbesar di Indonesia dengan nilai investasi pada 2018 sekitar 1,5 miliar dollar AS. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi dari penanaman modal asing (PMA) Indonesia pada Januari-September 2018 sebanyak 20,9 miliar dollar AS.
”Indonesia dan Korsel memiliki kemitraan yang sangat baik. Kemitraan strategis khusus (special strategic partnership) ini belum pernah dialami sebelumnya,” ucap Kim dalam acara dialog bisnis tahunan yang digelar Korean Chamber of Commerce and Industry Indonesia (Kocham) di Jakarta, Rabu (27/2/2019).
Acara itu turut dihadiri Menteri Perdagangan Airlangga Hartarto, Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani, dan Wakil Ketua Umum bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta W Kamdani.
Kemitraan strategis khusus antara Indonesia dan Korsel merupakan kesepakatan antara Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden Korsel Moon Jae-in pada November 2017 saat Presiden Moon melawat Indonesia. Bentuk kemitraan itu bertujuan mendorong akselerasi industrialisasi di Indonesia.
Ke depan, lanjut Kim, Korsel berniat membantu Indonesia dalam mewujudkan visi revolusi industri 4.0 di Indonesia, yang salah satunya kuncinya adalah meningkatkan daya saing sumber daya manusianya. Untuk itu, ia mengundang Pemerintah Indonesia mengunjungi Korsel dan bertemu dengan Menteri Pendidikan dan Menteri Riset dan Teknologi Korsel.
Sejumlah agenda peningkatan hubungan kerja sama antara Indonesia dan Korsel ke depan adalah melanjutkan perundingan perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia dan Korea Selatan (IK-CEPA) yang sudah tertahan selama 5 tahun, serta menuntaskan perjanjian perdagangan bebas (FTA) kedua negara hingga akhir tahun ini.
Menperin mengapresiasi kontribusi Korsel dalam mendukung perekonomian Indonesia, khususnya dalam menyediakan lapangan kerja kepada 1 juta warga Indonesia. ”Jumlah rakyat Indonesia 260 juta orang. Saya berharap jumlah lapangan kerja (yang disediakan perusahaan Korsel) itu dapat meningkat dua kali lipat hingga 2024,” tambah Airlangga.
Upah minimum
Apresiasi kepada pelaku usaha Korsel turut disampaikan oleh Menaker. Ia berharap, hubungan bilateral antara Indonesia dan Korsel dapat terus dikembangkan ke depan. Untuk memastikan keberlanjutannya, ia mengingatkan pentingnya bagi para pelaku usaha untuk mematuhi peraturan tentang upah minimum dan betul-betul mengimplementasikannya.
Hanif mencontohkan, sebuah perusahaan Korsel di Bekasi yang merekrut 500 pekerja tanpa memberikan mereka gaji. ”Isu seperti ini harus diatasi demi memastikan kepercayaan rakyat Indonesia terhadap bisnis Korsel. Korsel harus menunjukkan bahwa bisnisnya aman dan memenuhi regulasi atau peraturan di Indonesia,” tuturnya.
Isu tersebut juga dikemukakan oleh Hariyadi. Hasil evaluasi yang pihaknya lakukan pada 2018 menunjukkan, perusahaan Korsel, yang sebagian besar padat karya, dinilai bermasalah, khususnya mengenai upah minimum.
”Apabila Anda (pelaku usaha Korsel) tidak mengantisipasi ini, kami tidak bisa mendukung usaha Anda. Sesuai dengan aturannya, upah harus di atas upah minimum regional dan tidak bisa lebih rendah,” tambah Hariyadi.
Selain itu, Hariyadi juga mengingatkan pelaku usaha Korsel untuk juga memperhatikan kebijakan dan tren publik lainnya, terutama yang terkait dengan sertifikat layak fungsi (SLF) untuk bangunan gedung, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), juga dalam menangani atau isu sensitif publik, seperti yang terkait dengan etnis dan agama.