Kereta Pemimpin Korut, Antipeluru dan Dilengkapi Layanan Mewah
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
Menjelang pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Hanoi, Vietnam, banyak laporan media dan diskusi beredar mengenai sarana transportasi kereta yang digunakan Kim untuk menuju ke sana dari Korut. Perhatian dan rasa penasaran publik mengenai hal itu cukup wajar.
Pemimpin negara biasanya naik pesawat kepresidenan ketika melawat ke negara lain. Kim pun pada pertemuan pertamanya dengan Trump di Singapura pada 2018 naik pesawat Boeing buatan AS yang dimiliki China.
Kim tiba di Hanoi pada Selasa (26/2/2019) pagi atau beberapa jam sebelum Trump tiba. Kim menempuh perjalanan sekitar 4.500 kilometer selama 2,5 hari dengan kereta dari Pyongyang, Korut. Ia beserta anggota stafnya melintasi China dan tiba pada Selasa di Dong Dang, kota perbatasan Vietnam-China. Dari Dong Dang, Kim melanjutkan perjalanan dengan mobil sejauh 160 kilometer hingga Hanoi.
Laporan harian Kompas (27/2/2019) menyatakan, saat kedatangan Kim, otoritas di Hanoi melarang pengoperasian kendaraan umum dan angkutan barang di sejumlah ruas jalan utama di Hanoi. Kendaraan pribadi pun tidak diizinkan mengakses jalan-jalan yang dilalui Kim.
Diskusi internet mengenai hal itu dilaporkan cukup marak, terutama di media sosial China, Weibo. Otoritas China pun bergerak cepat untuk menyensor konten-konten terkait topik itu. Tidak sedikit yang mengejek perjalanan dengan kereta itu dan mengaitkannya dengan kemiskinan Korut.
Ada banyak pula yang mengejek kecepatannya. Kereta berwarna hijau yang dinaiki Kim itu lebih lambat dibandingkan kereta modern China dan hanya memiliki kecepatan maksimal 60 kilometer per jam.
Antipeluru
Tidak ada banyak informasi resmi yang disampaikan mengenai kereta api Kim kemarin. Berbagai laporan menyatakan bahwa kereta itu mirip dengan kereta yang digunakan Pemimpin Korut sebelumnya.
Laporan media Korea Selatan, The Chosunilbo, pada 2009, saat ayah Kim, Kim Jong Il, masih memerintah, mengungkapkan, gerbong kereta Pemimpin Korut saat itu antipeluru dan lebih berat dibandingkan kereta biasa. Akibatnya, kecepatan kereta lebih lambat.
Laporan itu juga menyatakan, ada tiga kereta yang beroperasi setiap kali sang pemimpin bepergian. Kereta pertama untuk pasukan keamanan tingkat tinggi, kereta kedua untuk pemimpin, dan kereta ketiga untuk anggota staf keamanan dan kebutuhan lain.
Di kereta pertama ada 100 anggota pasukan keamanan yang salah satu tugasnya mengecek stasiun dan memastikan tempat itu bebas dari bom atau ancaman lain. Ada pula helikopter dan pesawat militer yang terbang di atas untuk memastikan keamanan lebih ketat.
Menikmati lobster dan anggur
Menurut rumor, Kim Jong Il takut terbang dengan pesawat dan lebih suka bepergian dengan kereta yang dilengkapi berbagai layanan mewah kelas atas. Seorang pejabat Rusia yang pernah bepergian dengan pemimpin Korut saat melintasi Rusia pada 2011, Konstantin Pulikovsky, menceritakan, dalam kereta itu, penumpang dapat memesan hidangan dari Rusia, China, Korea, Jepang, dan Perancis.
Kim ngotot agar lobster hidup dan makanan segar lain dapat disediakan saat kereta melintasi Siberia. Wine atau anggur ternama asal Perancis, seperti Bordeaux dan Burgundy, pun katanya langsung dikirim dari Paris.
Ketika Bosan, Kim menikmati pertunjukan sekelompok perempuan penghibur yang dikenal sebagai ”konduktor perempuan” yang menghiburnya dengan alunan musik bahasa Korea dan Rusia.
Mengutip laporan The Chosunilbo, CNN memberitakan kereta Kim yang berlapis baja itu juga dilengkapi dengan ruang konferensi, ruang audiensi, dan kamar tidur. Koneksi telepon satelit dan layar televisi juga disediakan sehingga pemimpin itu dapat memberikan arahan dan perintah ke Korut.
Sementara itu, belum ada laporan mengenai kegiatan yang dinikmati anaknya, Kim Jong Un, saat berada di kereta itu.
Legasi politik
Langkah Kim mengikuti pendahulunya dalam menggunakan kereta untuk lawatannya ke luar negeri dinilai dapat memiliki nilai propaganda yang positif di Korut.
”Ini adalah legasi politik. Korut ingin agar Kim berperan seperti kakeknya, yang berhasil membangun legitimasi internasional di kalangan internasional,” kata Christopher Green, seorang pengamat dari International Crisis Group.