Ketidaktegasan Pemerintah Menjadi Masalah
Proses pemecatan aparatur sipil negara terpidana korupsi yang berlarut-larut tidak hanya merugikan negara, tetapi reformasi birokrasi juga menjadi taruhannya.
JAKARTA, KOMPAS —Pemecatan terhadap 2.357 aparatur sipil negara terpidana korupsi berjalan lambat karena ketidaktegasan pemerintah pusat membina pemerintah daerah dan ketiadaan tenggat atau batas waktu yang jelas. Jika proses pemecatan tidak segera dilakukan, negara akan terus merugi dan reformasi birokrasi menjadi taruhannya.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga 26 Februari 2019 dari total 2.357 ASN terpidana korupsi, baru 572 orang yang diberhentikan dengan tidak hormat. Masih ada 1.785 ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan. Mayoritas ASN tersebut merupakan ASN di pemerintah daerah.
Sementara berdasarkan perhitungan Indonesia Corruption Watch, jika proses pemecatan semakin lambat, potensi kerugian negara akan semakin besar. Potensi kerugian negara diperkirakan mencapai sekitar Rp 6,6 miliar per bulan atau Rp 72 miliar per tahun jika pemerintah tak segera memproses pemecatan ASN bermasalah.
Saat dihubungi, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menuturkan, komitmen pemerintah pusat akan dipertanyakan jika target pemecatan tak tercapai kembali. Jika masalah tersebut terus berlarut, berarti akan ada unsur kesengajaan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang abai terhadap hukum.
”Itu bisa menjadi bentuk permainan penghinaan terhadap hukum. Bagaimanapun, orang yang sudah berstatus narapidana dan masih pegawai bahkan masih dapat hak dari negara, ini bukan unsur kelalaian, tetapi kesengajaan yang luput dari tindakan tegas dari pemerintah pusat dan daerah,” ujar Robert.
Kemendagri jadi kunci
Oleh karena itu, menurut Robert, sebenarnya kunci dari penyelesaian kasus itu ada di Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina utama pejabat pembina kepegawaian (PPK). Apalagi, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Kemendagri sudah diberi mandat kuat untuk memberikan tindakan tegas. Bahkan, mengambil alih sebagian kewenangan kepala daerah terhadap komitmen nasional yang diabaikan pemerintah daerah.
”Tinggal, ada tidak kemauan itu? Kita butuh tindakan-tindakan sangat tegas. Kita agak sulit membayangkan PPK ambil tindakan karena, boleh jadi, ASN yang terlibat dalam perkara hukum itu orang-orang dekat mereka,” kata Robert.
Kemarin, di Istana Merdeka, Jakarta, Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana mengakui, proses pemecatan ASN masih terhambat di pemerintah daerah akibat terkendala masalah teknis pemecatan, seperti pertimbangan pengembalian gaji yang sudah dibayarkan ke ASN bermasalah, serta batas vonis yang ditetapkan pengadilan sudah lewat.
”Untuk mempertegas itu, (nanti) akan ada di surat edaran. Jadi, TMT (terhitung mulai tanggal) SK (surat keputusan) pemberhentian yang sekarang. Gaji juga tak perlu dikembalikan,” ujar Bima setelah dipanggil Presiden Joko Widodo.
Bima menyebutkan, dalam surat itu pemerintah akan memberi tenggat baru kepada pemerintah daerah untuk segera memecat ASN terpidana korupsi paling lambat 31 April 2019. ”Surat itu akan memberikan jalan tengah (pemda) secara cepat. Saya enggak tahu, sudah ditandatangani (Menpan RB) atau belum. Tetapi, (surat) akan keluar,” tutur Bima.
Pemerintah sebelumnya pernah menetapkan batas waktu pemecatan hingga akhir 2018, tetapi hingga kini masalahnya tak kunjung tuntas. DPR bahkan pernah meminta tenggat baru 31 Maret 2019.
Adapun Menpan RB Syafruddin menyangsikan proses pemecatan ASN terpidana korupsi bisa selesai akhir April. Pasalnya, ada kemungkinan ASN yang akan mengajukan langkah hukum sebelumnya. ”Kalau ada yang melakukan upaya hukum, gimana? Kan, harus ditunggu to? Enggak bisa tentukan (tenggat waktu) begitu saja,” tutur Syafruddin.
Ketidaktegasan pemerintah pun akhirnya mengundang kritik DPR. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Achmad Baidowi, menyayangkan sikap pemerintah yang kurang serius memecat ASN terpidana korupsi tersebut.
Menurut dia, ketika para ASN sudah berstatus terpidana korupsi sesuai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, seharusnya dijalankan. Tidak ada alasan bagi pemerintah menunda-nunda pemecatannya. ”Jika tidak segera diberhentikan, kepercayaan publik akan berkurang dan ini akan menghambat cita-cita reformasi dan penegakan supremasi hukum,” ujar Baidowi.
(BOW/INA/AGE)