Konsep Pencegahan DBD Sudah Tepat, Pelaksanaannya Setengah Hati
Demam berdarah masih menjadi momok di Indonesia. Sudah setengah abad, sejak pertama kali ditemukan di Surabaya pada 1968, penyakit ini terus menginfeksi dan merenggut nyawa manusia. Kurangnya kesadaran akan hidup bersih dan sehat menjadi penyebab utama kondisi ini tetap langgeng setiap tahun.
Dari data Kementerian Kesehatan, kasus demam berdarah dengue (DBD) sejak 1 Januari 2019 hingga 20 Januari 2019 tercatat sebanyak 23.305 kasus. Jumlah ini hampir melampaui jumlah kasus yang terjadi sepanjang 2018, yakni 26.404 kasus. Jika melihat data tren sejak awal kasus DBD muncul, peningkatan terus terjadi. Pada 1968 hanya ditemukan 58 kasus DBD.
Peningkatan dan penyebaran kasus tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan, dan distribusi penduduk ke wilayah yang lebih luas. Ironisnya, faktor risiko yang semakin besar ini tidak dibarengi dengan tindakan preventif masyarakat untuk mencegah penyebaran penyakit.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menilai, masih ditemukannya penyakit DBD di Indonesia menandakan masyarakat abai dalam upaya pencegahan. Penyakit ini bisa dicegah dengan cara sederhana melalui gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M plus dan gerakan satu rumah satu jumantik (juru pemantau jentik).
Masih ditemukannya penyakit DBD di Indonesia menandakan masyarakat abai dalam upaya pencegahan.
”Jika ditanya konsep 3M, pasti sebagian besar masyarakat sudah tahu, yaitu menguras, menutup, dan mendaur ulang barang bekas. Namun, jika ditanya apakah sudah dilakukan secara rutin minimal seminggu sekali, biasanya akan diam karena belum dilaksanakan. Padahal, cara paling efektif mencegah DBD, ya, dengan PSN,” ujarnya saat ditemui pada Selasa (19/2/2019) di Jakarta.
Kesadaran untuk mencegah DBD bisa terlihat dari keberhasilan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di lingkungan masyarakat. Keberhasilan ini dapat diukur dengan angka bebas jentik. Apabila angka bebas jentik lebih dari atau sama dengan 95 persen, penularan DBD bisa dicegah ataupun dikurangi.
Sayangnya, sejak pemantauan dilakukan pada 1994 sampai saat ini, angka bebas jentik masih di bawah target. Artinya, upaya PSN belum berjalan dengan baik di masyarakat.
Memberantas sarang nyamuk juga perlu dilakukan secara menyeluruh dan konsisten. Gerakan ini tidak cukup dilakukan hanya oleh satu keluarga saja, tetapi harus serentak di seluruh wilayah. Selain wilayah tempat tinggal, tempat lain, seperti perkantoran, sekolah, dan tempat umum, juga perlu menjadi perhatian. Hal ini penting karena nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor DBD merupakan nyamuk ”rumahan” yang hidup berdekatan dengan manusia.
Selain itu, upaya pemberantasan sarang nyamuk wajib dilakukan sepanjang tahun, bukan hanya ketika musim hujan tiba. Nyamuk dengue tetap hidup di musim panas. Meski jumlahnya tidak banyak, nyamuk akan berkembang biak dan menyimpan telurnya di sekitar kita. Telur nyamuk bisa tahan sampai enam bulan. Ketika terkena air, telur pun bisa langsung menetas dan berkembang menjadi nyamuk dewasa.
Telur nyamuk dengue bisa tahan sampai enam bulan. Ketika terkena air, telur pun bisa langsung menetas dan berkembang menjadi nyamuk dewasa.
Hal penting lain yang kerap diabaikan dalam pemberantasan sarang nyamuk adalah wadah penampungan air, seperti vas bunga, bawah dispenser, belakang kulkas, dan pagar rumah yang ada cekungan. Setetes air yang tertampung di wadah tersebut bisa menjadi tempat nyamuk bertelur dan jentik berkembang.
Dokter spesialis penyakit dalam Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Erni Juwita Nelwan, mengungkapkan, Indonesia sebagai negara tropis merupakan kawasan endemis demam berdarah. Virus dengue beredar di sekitar lingkungan kita. Oleh karena itu, sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini, selalu ada kasus DBD sepanjang tahun.
”Virus tidak bisa menular ke tubuh kita jika tidak ada vektor penularnya, yakni nyamuk Aedes. Namun, jika vektor ini banyak ditemui di sekitar kita, penyebaran dan penularannya pun menjadi tinggi. Itu sebabnya, cara mencegah DBD yang efektif adalah dengan menekan populasi nyamuk itu sendiri,” katanya.
Intervensi pemerintah
Nadia mengatakan, langkah-langkah yang ditempuh pemerintah pusat dinilai telah maksimal. Sebelum kasus DBD pada 2019 merebak, Kementerian Kesehatan telah mengirimkan surat edaran kepada pemerintah daerah agar lebih gencar melaksanakan PSN. Surat ini disampaikan pada Oktober 2018 dan diperkuat lagi pada awal Januari 2019.
Selain itu, regulasi melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2017 telah mengatur standar baku mutu kesehatan lingkungan, khususnya untuk pengendalian vektor atau binatang pembawa penyakit, seperti nyamuk. Harapannya, pemerintah dan masyarakat memiliki acuan untuk menurunkan vektor dan binatang pembawa penyakit beserta cara pencegahan dan penularan penyakit tersebut. ”Regulasi kita rasanya tidak pernah kurang, tetapi aspek pelaksanaannya yang belum optimal,” ujarnya.
Regulasi kita rasanya tidak pernah kurang, tetapi aspek pelaksanaannya yang belum optimal.
Pemerintah, kata Nadia, juga terus meningkatkan kapasitas petugas, baik melalui advokasi maupun pelatihan, dalam upaya pengendalian penyakit. Setidaknya Kementerian Kesehatan menyediakan alokasi dana Rp 12 miliar-Rp 15 miliar untuk program pencegahan dan penanggulangan DBD. Dana tersebut digunakan untuk kebutuhan penyebaran logistik, seperti larvasida, ke daerah; verifikasi kasus di daerah; serta advokasi regulasi dan pelatihan petugas.
Kepala Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Upik Kesumawati Hadi berpendapat, meski regulasi dan anggaran telah dialokasikan, pencegahan dan pengendalian nyamuk dengue nyatanya belum berdampak signifikan. Pengawasan pemerintah untuk rutin langsung terjun ke lapangan dinilai masih kurang. Kalaupun ada, pengawasan masih bersifat sporadis dan belum menjadi gerakan nasional yang masif. Komitmen pemerintah, termasuk pemerintah daerah, sangat menentukan.
Pengawasan pemerintah untuk rutin langsung terjun ke lapangan dinilai masih kurang. Kalaupun ada, pengawasan masih bersifat sporadis dan belum menjadi gerakan nasional yang masif.
Selain itu, kegiatan pengasapan (fogging)belum gencar dilakukan, justru seakan salah prosedur. Pengasapan seharusnya dilakukan sebelum musim DBD berlangsung. Apabila memang ditemukan kasus DBD di suatu wilayah, pengasapan harus langsung dilakukan, tidak harus menunggu satu minggu kemudian.
Selama pola penanganan penularan DBD masih setengah hati dan kesadaran masyarakat masih rendah, keberhasilan pengendalian penyakit ini sulit terwujud. Semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi dan lembaga pendidikan, hingga masyarakat, perlu berkomitmen dan konsisten memberantas nyamuk dengue.