Literasi Pangan Modal Penting Menuju Kota Cerdas Pangan
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS -- Isu penyediaan dan pengelolaan pangan sehat masih menjadi tantangan sejumlah kota di Indonesia dan dunia dalam mewujudkan Kota Cerdas Pangan. Literasi pangan dan integrasi kebijakan terkait pangan dinilai perlu dilakukan.
Peneliti Perkumpulan Indonesia Berseru, Tejo Wahyu Jatmiko, dalam konferensi pers Kota Cerdas Pangan di Margonda, Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (27/2/2019) menilai, Kota Depok, memiliki peluang menjadi Kota Cerdas Pangan karena memiliki modal yang baik untuk itu. Kota Cerdas Pangan bisa dijadikan salah satu solusi untuk mengatasi masalah pangan di perkotaan.
Program Kota Cerdas Pangan merupakan upaya pembangunan tata kelola pangan berdaulat dan cerdas dengan memerhatikan cara kota menghasilkan pangan secara berdaulat dan sehat. Hal ini bisa diwujudkan demi mengurangi penyusutan jumlah makanan (food loss) dan mengurangi serta memanfaatkan makanan berlebih (food waste) dengan meredistribusikan makanan tersebut.
Kota Cerdas Pangan satu jalur dengan program unggulan Kota Cerdas Depok yakni program zero waste city, smart healthy city, dan family resilience city. Tak hanya itu, data Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan (DKP3) Kota Depok pada 2018 menyebutkan, kota itu mampu memenuhi sekitar 90 persen kebutuhan pangan warga dari luar wilayahnya.
"Salah satu yang masih menjadi ironi adalah rendahnya tingkat literasi pangan warga Kota Depok. Edukasi terkait ketahanan pangan tentu akan menjadi pekerjaan rumah yang harus dihadapi Kota Depok sebelum akhirnya bertransformasi menjadi Kota Cerdas Pangan," ujar Tejo.
Rendah
Berdasarkan hasil riset Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 2018, literasi pangan warga Kota Depok tergolong rendah. Dari sekitar 2,1 juta penduduknya, baru 35 persen atau 735.000 penduduk yang sudah terliterasi tentang pangan. Sisanya, sekitar 1,4 juta lainnya belum terliterasi.
Tidak hanya itu, Kota Depok juga berhadapan dengan tantangan terkait penyediaan sistem pengelolaan sampah yang baik, termasuk pengelolaan sampah pangan. Padahal, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok mencatat, 60 persen sampah yang dihasilkan kota itu setiap harinya adalah sampah organik.
Setiap harinya Kota Depok menghasilkan total sekitar 1.350 ton sampah. Dari jumlah itu, 810 ton di antaranya merupakan sampah organik. Sekitar 10 persen atau 135 ton dari sampah organik tersebut adalah sampah pangan dari hotel dan restoran. Mayoritas sampah pangan dibuang langsung ke tempat pembuangan akhir sampah tanpa diolah terlebih dulu.
"Untuk mengatasi permasalahan itu, Kota Depok memerlukan visi dan program pengelolaan pangan yang terintegrasi. Pucuk pimpinan harus diyakinkan terlebih dahulu tentang manfaat pangan dan manfaat pengelolaan sampah pangan," kata Tejo.
Tak hanya Kota Depok, menurut catatan The Economist Intelligence Unit pada tahun 2017 disebutkan, secara global Indonesia berada di peringkat kedua di dunia sebagai produsen sampah pangan terbesar setelah Arab Saudi. Sampah pangan yang dihasilkan ialah 300 kilogram per orang per tahun.
Strategi
Penerapan Kota Cerdas Pangan tidaklah mudah. Perlu strategi dalam penerapannya. Direktur Gita Pertiwi Ecological Studies Programme, Titik Eka Sasanti, dalam paparannya menyebutkan, di Solo, Jawa Tengah sudah ada program-program yang dijalankan untuk meraih predikat Kota Cerdas Pangan.
Titik mengatakan, melalui Peraturan Wali Kota Solo Nomor 23 Tahun 2016, Pemerintah Kota Solo membentuk Dewan Ketahanan Pangan yang bertugas untuk menentukan arah kebijakan ketahanan pangan Kota Solo. Selain itu, Dewan Ketahanan Pangan Kota Solo juga bertanggungjawab untuk mendorong penyediaan pangan, pendistribusian pangan, pencadangan pangan, penganekaragaman pangan, serta pencegahan dan penanggulangan masalah pangan.
"Kota Solo menerapkan pola konsumsi sehat berbasis keluarga. Ini penting dilakukan karena keluarga, khususnya ibu, memiliki peran yang signifikan untuk mengawasi pola konsumsi keluarga," tutur Titik.
Kota Solo mengadakan pendidikan konsumen sebagai bentuk penyadaran dan pemberdayaan gizi. Dalam hal ini, konsumen dididik untuk mengonsumsi secara bijak, disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga, pendidikan ini juga bermuara kepada pengurangan sampah makanan.
"Mengedukasi masyarakat dengan cara-cara yang konvensional mungkin masih sukar dilakukan. Untuk itu, proses pengakaran informasi tentang keragaman pangan lokal di Kota Solo dilakukan melalui media yang mudah dijangkau masyarakat. Mungkin cara ini juga bisa dilakukan di Depok," imbuh Titik.
Dihubungi secara terpisah Rabu sore, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kota Depok Komisi D tentang Kesejahteraan Rakyat Sahat Farida Berlian mengatakan, ada beberapa rencana yang bisa diakomodasi dalam bentuk regulasi di Kota Depok. Regulasi itu nantinya bisa mengatur terkait peningkatan literasi pangan, peningkatan produksi pangan rumah tangga, pengelolaan pangan berlebih dan tata kelola pangan di Kota Depok.
Untuk menanggapi adanya potensi Kota Depok sebagai Kota Cerdas Pangan, saat dihubungi Rabu malam, Wakil Wali Kota Depok Pradi Supriatna, Sekertaris Kota Depok Hardiono, dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Kota Depok Diah Sadiah tidak bersedia berkomentar. (KRISTI DWI UTAMI)