Oase ”Garuda Muda”
Prestasi skuad ”Garuda Muda” yang menjuarai Piala AFF U-22 diharapkan menjadi tonggak kebangkitan sepak bola nasional yang kini sedang dibersihkan dari virus pengaturan skor.
JAKARTA, KOMPAS Tim nasional sepak bola Indonesia U-22 melampaui batas ekspektasi dengan menjuarai Piala AFF U-22 2019 seusai membekap Thailand, 2-1, pada final turnamen itu di Phnom Penh, Kamboja, Selasa (26/2/2019) malam.
Prestasi tim ”Garuda Muda” itu bak oase di tengah karut-marutnya kondisi terkini sepak bola di Tanah Air.
Gelar juara Piala AFF (Federasi Sepak Bola ASEAN) di Kamboja itu menjadi gelar ketiga sepanjang sejarah yang diraih Indonesia di berbagai kelompok usia. Sebelumnya, Indonesia juga menjuarai turnamen Piala AFF di kelompok U-19 pada 2013 dan U-16 pada 2018.
Bedanya, gelar juara di Kamboja itu diraih di luar negeri dan tanpa melalui drama adu penalti, seperti dua turnamen sebelumnya. Pujian pun mengalir untuk tim asuhan pelatih Indra Sjafri itu. Khusus bagi Indra, ini adalah gelar keduanya di Asia Tenggara setelah Piala AFF U-19 di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2013.
”Gelar ini adalah sebuah penyejuk di tengah karut-marut sepak bola Indonesia saat ini akibat masalah pengaturan skor. Di saat kondisi (sulit) seperti ini, mereka bisa berprestasi. Ini adalah sebuah harapan baru,” kata Ketua Paguyuban Suporter Timnas Indonesia Ignatius Indro di Jakarta.
Saat Garuda Muda berjuang di Kamboja selama hampir dua pekan terakhir, wajah sepak bola Indonesia tengah tercoreng menyusul gencarnya pengungkapan kasus pengaturan skor oleh Satuan Tugas Antimafia Bola bentukan Kepolisian Negara RI.
Total 16 tersangka, termasuk Ketua Umum PSSI Joko Driyono, telah menjadi tersangka dalam serangkaian penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan polisi terkait penyelewengan di kompetisi sepak bola nasional.
Kondisi sepak bola nasional saat ini benar-benar terpuruk karena kecurangan ada di Liga 3 dan Liga 2. Satgas kini sedang mengembangkan penyelidikan ke kompetisi kasta tertinggi,yaitu Liga 1. Kecurangan di sepak bola itu sangat menyedihkan karena melibatkan wasit, anggota Komite Eksekutif PSSI, dan anggota Komisi Disiplin PSSI. Semua lini terjangkiti virus pengaturan skor sepak bola.
Indonesia pun mendadak disorot publik sepak bola sejagat. Sayangnya, sorotan tajam itu lebih tertuju pada keburukan-keburukan ketimbang prestasi tim nasional sepak bola Indonesia.
Jaringan media asal Amerika Serikat, ABC, misalnya, menggambarkan Indonesia sebagai rimba belantara di sepak bola. ”Penuh rivalitas mematikan, kerusuhan suporter, dan korupsi”, bunyi judul berita ABC pada Minggu (24/2).
Indriyanto Nugroho, mantan striker timnas Indonesia yang juga alumnus program PSSI Primavera Italia, menilai, prestasi Garuda Muda di Kamboja tidak jauh berbeda dengan kisah ”dongeng” di Piala Dunia Jerman 2006. Sama sekali tidak diunggulkan, Italia asuhan Marcello Lippi justru menjadi juara dengan mengalahkan tim bertabur bintang, Perancis, di final.
Mentalitas pemain
Mirip kondisi di Tanah Air saat ini, ketika itu, sepak bola Italia diguncang skandal suap dan pengaturan skor yang dikenal dengan istilah calciopoli.
Sejumlah klub papan atas, seperti Juventus, AC Milan, Fiorentina, dan Lazio, dihukum pengurangan poin di liga hingga degradasi. Sejumlah nama, seperti Antonio Giraudo (mantan pejabat Juventus) dan Paolo Dondarini (mantan wasit), dijebloskan ke penjara.
”Itu membuat tim kami menjadi lebih bersatu dan solid. Pada prinsipnya, kami memiliki pemain-pemain (bermental) fantastis,” kata Lippi dilansir Football-Italia pada 2015.
Mentalitas serupa diperlihatkan Garuda Muda, khususnya di final Piala AFF U-22 di Stadion Olimpiade Phnom Penh. Mereka bertahan dan menyerang secara tim alias kompak.
Mereka juga tidak terpuruk saat tertinggal lebih dulu di final itu oleh gol striker Thailand, Saringkan Promsupa, pada menit ke-57. Hanya dalam tujuh menit, Garuda Muda membalikkan keadaan, yaitu unggul 2-1, berkat gol Sani Rizki Fauzi dan Osvaldo Haay.
Menurut Haay, golnya yang menentukan kemenangan Garuda adalah buah kerja sama tim, bukan semata kepiawaiannya. ”Ini buah hasil kerja keras kami. Tuhan menjawab doa kita semua. Kita bisa berdiri di atas kaki sendiri, asalkan kita mau,” ujar Indra seusai laga itu, seperti dikutip dari situs PSSI.
Tonggak kebangkitan
Menurut Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha, target timnas U-22 sebetulnya adalah menjuarai cabang sepak bola SEA Games Filipina 2019 dan lolos kualifikasi Piala Asia U-23 2020 di Thailand. Kali terakhir Indonesia meraih emas di SEA Games adalah pada 1991 yang juga digelar di Filipina.
Indriyanto, yang berpengalaman membela timnas, berharap prestasi Garuda Muda di Kamboja bisa menjadi tonggak kebangkitan prestasi sepak bola Indonesia dan menginspirasi para seniornya di timnas asuhan Simon McMenemy.
”Timnas U-22 terus bertumbuh dari laga ke laga. Gelar juara sangat bagus bagi sepak bola Indonesia yang tengah menjalani masa sulit seperti saat ini,” kata Simon.
Sementara itu, Ignatius Indro berharap prestasi timnas U-22 diikuti perubahan konkret di PSSI. Induk sepak bola di Tanah Air itu mengagendakan kongres luar biasa seusai pemilu untuk mencari pengurus baru. ”Federasi harus berubah agar melahirkan sistem yang bersih dan baik sehingga prestasi timnas bisa kontinu. Tidak sesekali,” ujarnya.
Salah satu wujud perubahan konkret persepakbolaan nasional adalah keseriusan PSSI membina pemain usia muda. Selama ini, kompetisi usia dini lebih banyak digelar pihak swasta, seperti melalui Liga Kompas Kacang Garuda U-14, yang juga berkontribusi melalui kehadiran beberapa pemain di Tim Nasional U-22. Mereka ialah M Riyandi, Rafi Syarahil, M Luthfi Kamal, dan Billy Keraf. (JON)