Peran Daerah
Struktur perekonomian Indonesia didominasi Jawa. Setidaknya, dalam tiga tahun terakhir, 2016-2018, pertumbuhan ekonomi Jawa menyumbang 58 persen terhadap pertumbuhan ekonomi RI.
Secara berturut-turut, perekonomian Indonesia pada 2016-2018 tumbuh 5,03 persen, 5,07 persen, dan 5,17 persen.
Pada 2016 dan 2017, peran Jawa 58,49 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada 2018, perannya 58,48 persen.
Sumatera berperan sekitar 21-22 persen terhadap PDB Indonesia. Adapun wilayah lain, yakni Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Papua dan Maluku memiliki peran kurang dari 10 persen. Peran terkecil dari Maluku dan Papua, yakni 2,46 persen pada 2016, menjadi 2,43 persen pada 2017 dan 2,47 persen pada 2018.
Pemerintah, sebagaimana dikemukakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bukannya tidak tahu kondisi ini. Rencana mengembangkan pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa sudah ada. Dengan cara itu, perekonomian di non-Jawa bisa berkembang. Harapannya, struktur ekonomi di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua semakin kuat. Sumbangan terhadap PDB bisa meningkat.
Bappenas sudah merancang pengembangan daerah. Papua, diarahkan sebagai basis pangan nasional dan sektor ekonomi berbasis sumber daya alam. Sulawesi untuk industri pangan. Kalimantan dikembangkan untuk industri pengolahan dan lumbung energi nasional. Sementara, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku menjadi daerah wisata internasional dan perikanan internasional. Adapun Sumatera menjadi industri baru dan gerbang wilayah Asia. Jawa, sebagai pengembangan perdagangan dan jasa.
Salah satu yang direncanakan adalah mendorong industri manufaktur ke luar Jawa. Dengan cara itu, beberapa manfaat bisa didapat. Ibaratnya, sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Industri di luar Jawa akan menyerap tenaga kerja. Jika berupa industri pengolahan mineral, maka hilirisasi akan meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Adapun industri manufaktur lain, khususnya yang diekspor, akan menambah pemasukan bagi negara. Semua industri tersebut merupakan realisasi investasi, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA).
Pada 2018, realisasi investasi di Indonesia Rp 721,3 triliun. Jumlah itu terdiri dari PMA Rp 392,7 triliun dan PMDN Rp 328,6 triliun.
Namun, mengembangkan daerah bukan perkara gampang. Mendorong industri manufaktur tak semudah menaruh bangunan atau pabrik, lalu meminta berproduksi. Untuk menghasilkan produk, mesin mesti beroperasi. Pengoperasian mesin membutuhkan sumber energi. Barang yang dihasilkan pabrik punya awal, yakni bahan baku dan penolong. Untuk mengerjakan segala sesuatu, perlu barang modal. Di balik semua itu, karyawan tetap diperlukan.
Jangan dulu bicara industri yang tangguh. Jika bekal untuk membentuk industri belum cukup, maka industri tak akan muncul di daerah yang dituju. Setelah industri ada, daya saing produknya juga mesti dipikirkan agar bisa memenangi persaingan. Jika hasil produksi hanya dipasarkan di dalam negeri, nilai tambah menjadi terbatas. Namun, jika diekspor, ada nilai tambah.
Berkaca dari data Badan Pusat Statistik, sekitar 9,66 persen penduduk Indonesia termasuk kategori miskin per September 2018. Hanya dua wilayah yang tingkat kemiskinannya lebih rendah dari nasional, yakni Jawa (8,79 persen) dan Kalimantan (5,98 persen). Tingkat kemiskinan tertinggi ada di Maluku dan Papua, yakni 20,94 persen.
Kue pertumbuhan ekonomi mestinya bisa dinikmati semakin banyak masyarakat Indonesia dengan lebih merata. (Dewi Indriastuti)