Pada Kamis (28/2/2019), Kota Tangerang, Banten, berusia 26 tahun. Perayaan ulang tahun kota yang memasuki usia lebih dari seperempat abad ini ditanggapi datar oleh sejumlah warga. Bagi mereka, ulang tahun kota hanyalah hajatan para birokrat. Mereka seperti tak ikut menjadi bagian yang patut merayakannya.
”Tahun 70-an, di sini masih sunyi bener,” kata Aming (67), Rabu (27/2/2019). Ia menunjuk kawasan yang kini menjadi pusat Pemerintahan Kota Tangerang, Banten. Saat itu Aming sedang duduk di tepi trotoar, di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang.
Aming tinggal di Kelurahan Karangsari, Kota Tangerang. Selama 67 tahun, ia tak pernah berpindah tempat tinggal. Secara umur, ia jauh lebih senior ketimbang kota dengan luas 164,55 kilometer persegi ini.
Aming menyaksikan Tangerang berubah menjadi kota baru penyangga Ibu Kota. Wilayah yang dulu hanya dipenuhi rawa dan sawah berganti dengan bangunan beton bertulang. Jalan raya dibangun, permukiman mewah tumbuh memenuhi kota dengan penduduk dua juta jiwa ini.
Ini tergambar dari menyusutnya luas sawah dari waktu ke waktu. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, luas sawah di Kota Tangerang berjumlah 823,62 hektar tahun 2011. Enam tahun berlalu (2017), luas sawah tersisa 509,15 hektar.
Sehari menjelang ulang tahun, Tangerang gencar menyosialisasikan agenda tahunan itu. Spanduk pengumuman dipajang di titik keramaian. Panggung hiburan akan dibuat dengan mendatangkan sejumlah artis Ibu Kota.
Namun, hal ini luput dari perhatian Aming. Ia bahkan tak tahu kapan ulang tahun kota. ”Orang seperti saya tidak pernah merhatiin acara yang gitu-gitu. Kecuali saya PNS (pegawai negeri sipil), mungkin saya bisa tahu. Itu kan yang bikin orang kantoran,” kata pensiunan tukang las ketok ini.
Sejak tahun 2015, ayah empat anak ini memutuskan pensiun menjadi tukang las. Ini tergambar dari matanya yang memerah, khas tukang las. Fisiknya sudah tidak memadai. Penglihatan Aming juga sudah tidak awas. Pekerjaan yang seharusnya selesai satu bulan, bisa molor dua sampai tiga minggu dari target. ”Akhirnya jadi malu sama diri sendiri,” katanya.
Aming pernah beberapa kali menonton panggung hiburan yang dihelat saat perayaan ulang tahun kota. Ini pun ia ketahui dari warga lain. ”Tetangga saya bilang, ’Noh ada acara ulang tahun.’ Kalau waktu luang, saya ikut. Tetapi, saya tidak pernah ingat kapan harinya,” kata Aming.
Di tempat lain, warga Kelurahan Suka Asih, Kecamatan Tangerang, Sadi (72), hanya tertawa ketika ditanya persiapannya dalam menyambut ulang tahun kota. ”Saya kemarin dikasih tahu istri, tapi saya sudah lupa tanggalnya,” katanya.
Pensiunan karyawan pabrik ini juga tak pernah meluangkan waktu khusus untuk merayakan hari ulang tahun kota. Bagi dia, Tangerang, selain bangunan yang bertambah banyak, hampir tak ada yang berubah. Ia mencontohkan kondisi Pasar Anyar yang berjarak 500 meter dari rumahnya. ”Di Pasar itu, beceknya minta ampun. Pedagang memakan badan jalan. Sejak dulu sampai sekarang masih begitu,” katanya.
”HUT kota itu, mah, hajatan PNS. Yang selalu sibuk, kan, hanya jajaran wali kota nyiapin ini-itu. Warga, menurut saja, disuruh pasang bendera, ya, kami pasang,” kata tetangga Sadi, yang tak mau namanya disebut.
Refleksi kota
Dihubungi secara terpisah, sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Widhyharto, menyatakan, apatisme warga terhadap ulang tahun kota merupakan dampak dari pembangunan kota yang top down. Dengan kata lain, kemajuan Tangerang bukan milik masyarakat, tetapi pemerintah.
Menurut Derajad, kemajuan Tangerang merupakan by design atas kondisi DKI Jakarta yang sudah terlalu sempit. Industrialisasi di Tangerang sebagai wilayah penyangga Ibu Kota pun kian tumbuh. Namun, pertumbuhan ini tidak berdasarkan partisipasi warga.
”Oleh sebab itu, perayaan hari ulang tahun kota seyogianya menjadi momen refleksi warga atas pelayanan yang sudah diberikan pemerintah. Sayangnya, lanjut Derajad, perayaan ulang tahun kota lebih banyak bersifat formalitas dan seremonial.
Ketika warga tidak pernah mengingat apa yang sudah dilakukan pemerintah, berarti refleksinya belum berhasil. Artinya, pelayanan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya diingat oleh birokratnya sendiri,” kata Derajad. (INSAN ALFAJRI)