JAKARTA, KOMPAS — Rehabilitasi tutupan lahan di Indonesia selama enam tahun terakhir berjalan di tempat. Hal ini dibuktikan oleh Indeks Kualitas Tutupan Lahan sejak 2012 hingga 2018, yakni sempat merosot dalam tiga tahun. Rata-rata pertumbuhan kualitas tutupan lahan enam tahun hanya 0,25 persen per tahun.
Direktur Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKH) Sulistyowati menyampaikan hal itu dalam rapat kerja teknis Ditjen PPKL, Rabu (27/2/2019), di Jakarta.
Pertumbuhan kualitas tutupan lahan yang merosot menunjukkan minimnya upaya rehabilitasi tutupan lahan. Kondisi yang sama juga menunjukkan, alih fungsi lahan dan pembangunan tak mempertimbangkan aspek lingkungannya.
Daya dukung lingkungan yang tidak kunjung diperbaiki ini membuat daerah-daerah di Indonesia rentan terdampak bencana hidrometeorologi, yakni banjir dan longsor. Sebab, kini curah hujan ekstrem makin kerap terjadi akibat dampak pemanasan global.
Mengutip Indeks Kualitas Tutupan Lahan yang dirilis Direktorat Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka pada PPKL Kementerian LHK, nilai indeks pada 2012 sebesar 59,26, 2013 sebesar 59,01, 2014 sebesar 59,01, 2015 sebesar 58,55, 2016 sebesar 58,42, 2017 sebesar 60,31, dan 2018 sebesar 61,03.
Selama enam tahun, rata-rata pertumbuhan hanya 0,25 persen per tahun. Indeks juga pernah tiga kali menurun, yakni pada 2012 ke 2013, 2014 ke 2015, dan 2015 ke 2016. Dalam enam tahun indeks mengalami kenaikan pada 2017 dan 2018.
”Tahun 2017 dan 2018 indeks bisa meningkat karena kami memasukkan unsur semak belukar pada komponen perhitungan indeks,” ujar Sulistyowati.
Dalam kesempatan itu, hadir perwakilan Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup dari pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten.
Sulistyowati menjelaskan, perhitungan indeks kualitas tutupan lahan itu menggunakan variabel luas tutupan hutan, luas tutupan belukar, luar ruang terbuka hijau, luas rehabilitasi hutan dan lahan, serta luas wilayah provinsi/kabupaten/kota. Seluruh daerah itu dihitung lalu dibagi menjadi rata-rata sehingga menghasilkan angka indeks tutupan lahan.
Meningkatkan kualitas tutupan lahan, kata Sulistyowati, bukan perkara mudah. Ada berbagai faktor yang menjadi tantangan peningkatan tutupan lahan, seperti kebakaran hutan dan lahan, perambahan hutan, pertambangan, dan alih fungsi lahan.
”Naik turunnya indeks kualitas tutupan lahan ini menjadi gambar dinamika upaya rehabilitasi lahan kita,” ujar Sulistyowati.
Tahun ini pemerintah menargetkan indeks kualitas tutupan lahan mencapai angka 63,24. Untuk mencapai target itu, Kementerian LHK mengajak semua dinas kehutanan dan dinas lingkungan hidup di daerah untuk bersinergi mengembalikan tutupan lahan sesuai rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) di daerah setempat.
Menanggapi stagnannya nilai indeks kualitas tutupan lahan selama enam tahun terakhir, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati mengatakan, hal itu adalah cerminan dari upaya pemulihan kerusakan lahan juga berjalan di tempat.
”Nilai indeks tersebut diakibatkan oleh pembangunan yang cenderung esktraktif dan tidak memperhatikan daya dukung serta keseimbangan ekosistem. Maka upaya penutupan lahan berjalan di tempat saja,” ujar Nur.
Banjir dan longsor
Nur menyayangkan lambatnya upaya rehabilitasi lahan ini. Sebab, Indonesia saat ini sudah berada pada kondisi krisis ekologis. Dampaknya, sejumlah daerah di Indonesia sangat rentan terdampak bencana hidrometeorologi, yakni banjir dan longsor.
”Daya dukung alam makin rendah, tapi rehabilitasinya berjalan di tempat. Padahal saat ini sedang bergejolak perubahan iklim yang memicu peningkatan intensitas cuaca ekstrem. Makin rentan kita dengan banjir dan longsor,” ujar Nur.
Hal senada pernah diungkapkan Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, dalam berbagai kesempatan dan seperti dikutip dari harian Kompas, 2 Januari 2018.
”Apa yang kita rasakan saat ini, di mana banjir dan longsor meningkat dan dominan, adalah buah dari kerusakan lingkungan yang berjalan puluhan tahun. Daya dukung dan daya tampung lingkungan terlampaui sehingga terjadi hujan deras sedikit saja langsung direspons dengan banjir dan longsor,” kata Sutopo.
Nur mengatakan, perbaikan lahan harus melibatkan semua unsur masyarakat. Pembangunan pun harus tidak luput memperhatikan aspek lingkungan.