Mendulang Investasi Asing Sektor Ekonomi Digital Indonesia
Perdagangan elektronik (e-dagang) dan ekonomi digital merupakan sektor potensial untuk menarik investasi asing ke Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir ini, investor asing yang menanamkan modal ke e-dagang dan ekonomi digital sebesar 2 miliar dollar AS atau Rp 27,98 triliun (dengan kurs referensi Jisdor Rp 13.990 per dollar AS)
Hal itu merupakan peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi asing di sektor tersebut. Namun, regulasi masih menjadi salah satu hambatan dalam pengembangan investasi itu. Untuk itu, perlu kerja sama pemerintah dengan para pelaku usaha rintisan agar regulasi itu lebih akomodatif menciptakan peluang investasi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 bertema "Investasi Unicorn untuk Siapa?" di Jakarta, Selasa (26/2/2019). Hadir sebagai pembicara adalah Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso.
Thomas Trikasih Lembong mengatakan, dalam tiga tahun terakhir BKPM menelusuri arus modal asing yang masuk ke e-dagang dan ekonomi digital. Dalam kurun waktu itu, penanaman modal asing langsung (PMA) yang masuk ada di kisaran 9 miliar dollar AS hingga 15 miliar dollar AS.
"Ternyata sebesar 2 miliar dollar AS hingga 2,5 miliar dollar AS masuk ke e-dagang dan ekonomi digital,” kata dia.
Menurut Thomas, saat ini, Indonesia memiliki empat unicorn, yaitu Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Mereka merupakan puncak dari gunung es. Artinya, masih banyak perusahaan lain yang berpotensi menjadi unicorn selanjutnya yang dapat menarik investasi asing masuk Indonesia.
Masih banyak perusahaan lain yang berpotensi menjadi unicorn selanjutnya yang dapat menarik investasi asing masuk Indonesia.
Google dan Temasek Singapura mencatat, perkiraan total nilai transaksi (gross merchandise value/GMV) e-dagang di Indonesia pada 2018 mencapai 23,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 336 triliun, tumbuh 114 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
GMV ekonomi internet itu dihimpun dari industri daring, e-dagang, media daring, dan layanan transportasi umum berbasis aplikasi (Kompas.id, 18 Februari 2019).
Laporan riset dari kedua lembaga tersebut juga memprediksi nilai transaksi e-dagang akan meningkat dua kali lipat dalam enam tahun ke depan. Diperkirakan nilai transaksi akan mencapai 53 miliar dollar AS atau Rp 700 triliun pada 2025.
Baca juga: Mengejar ”Cuan” di Balik Status ”Unicorn”
Tantangan
Thomas mengemukakan, sejauh ini tidak ada indikasi dari para investor asing yang gelisah atau kehilangan antusiasme atas potensi ekonomi digital. Minat mereka berinvestasi di sektor tersebut justru semakin meningkat.
“Namun, negara-negara lain pun mulai mendorong ekonomi digital mereka untuk bisa menarik modal yang sama. Keadaan ini tentu menjadi ancaman jika tidak ada regulasi yang kondusif serta pendekatan yang bersahabat,” ujarnya.
Negara-negara lain pun mulai mendorong ekonomi digital mereka untuk bisa menarik modal yang sama. Keadaan ini tentu menjadi ancaman jika tidak ada regulasi yang kondusif serta pendekatan yang bersahabat.
Menanggapi hal itu, Rudiantara menegaskan, posisi pemerintah sebagai regulator tidak akan mempersulit para pelaku usaha yang ingin bergerak di bidang ekonomi digital. “Kami akan terus mempermudah. Untuk memulai bisnis rintisan (startup) enggak perlu minta izin ke kami, hanya perlu daftar,” katanya.
Menurut Rudiantara, bisnis rintisan Indonesia dan unicorn kini menjadi salah satu pemain kunci ekonomi digital Indonesia. Sebagai bentuk dukungan, Kementerian Kominfo melakukan Program Next Indonesian Unicorn (NextICorn).
"Melalui program itu, pemerintah membantu para unicorn untuk mendapatkan pendanaan dan menjembatani mereka dengan investor, baik lokal maupun internasional," kata dia.
Rudiantara menyadari kalau manusia berubah, demikian juga negara. Ada perubahan kebiasaan dari masyarakat dalam menjalankan bisnis dan rutinitas keseharian. Maka, Kementerian Komunikasi dan Informatika terus menyesuaikan perubahan dari regulator menjadi fasilitator dan akselerator.
Kemudahan bisnis
Kemudahan dalam berbisnis e-dagang memang perlu terus diupayakan untuk menumbuhkan para unicorn baru yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Namun, tetap perlu ada koridor, termasuk yang bergerak di sektor keuangan digital.
Meski tergolong baru, perkembangan teknologi finansial (tekfin) di Indonesia menjanjikan potensi besar. Indonesia harus terus berinovasi dan menciptakan ekosistem yang kondusif, namun tetap memperhatikan aspek perlindungan konsumen untuk mengangkat peringkat di dunia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, saat ini Indonesia masih berada di posisi 255. Posisi ini jauh tertinggal dibandingkan dengan Singapura (11), Malaysia (101), dan Thailand (137).
Wimboh Santoso mengatakan, dalam hal ekonomi digital, OJK bertugas menjadi koridor bagi para pelaku tekfin. Mereka harus terdaftar dalam OJK untuk melindungi pengguna, baik investor maupun nasabah peminjam.
Pada awal Februari 2019, OJK bersama anggota satuan petugas waspada investasi kembali menghentikan tujuh pelaku usaha layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending/P2P) yang tidak terdaftar atau memiliki izin OJK. Secara total, ada sebanyak 635 tekfin yang telah dihentikan aktivitasnya oleh satgas waspada Investasi OJK.
Baca juga: Sebanyak 635 Platform Teknologi Finansial Ilegal Ditutup
“Apa yang kami lakukan, bukan melarang, tetapi memberikan jalurnya, yaitu dengan menyediakan kerangka pengaturan dan pengawasan yang memberikan fleksibilitas ruang inovasi. Hal ini untuk memastikan para pelaku tekfin menjalankan usaha sesuai aturan, juga untuk melindungi konsumen,” katanya.
Perkembangan aplikasi
Sementara itu, Litbang Kompas melihat, kemunculan aplikasi-aplikasi digital yang ber-feature revolusioner membuat pengguna internet semakin ketagihan dan masif. Laman Statista mencatat, hingga Desember 2017 terdapat 3,5 juta aplikasi Android yang tersedia di Google Play Store. Belum lagi ditambah 2,2 juta aplikasi IOS yang juga tersedia pada Januari 2017.
Media sosial menjadi aplikasi yang paling banyak diinstal hingga tahun 2018. Menurut laman androidrank.org, peringkat pertama adalah Google Play Service, diikuti aplikasi Facebook, kemudian Facebook Messenger, Whatsapp Messenger, dan Instagram.
Aplikasi peringkat ke-5 terbaik ini semuanya dikembangkan orang di luar negeri. Walau demikian, pengembang aplikasi buatan anak negeri juga sudah mulai unjuk gigi. Seperti PT Aplikasi Karya Anak Bangsa, pengembang aplikasi Go-Jek, telah berhasil meraih 50 juta instal.
OLX Indonesia yang mengembangkan aplikasi OLX-Jual Beli Online juga berhasil meraih 26,2 juta instal. Ada juga Traveloka yang mengembangkan Traveloka Book Flight and Hotel dengan raihan 21,6 juta instal.
Di balik maraknya sejumlah aplikasi itu, ada ide kreatif yang muncul dari anak-anak muda Indonesia. Contohnya aplikasi Go-Jek yang dibangun oleh Nadiem Makarim sejak tahun 2011. Nadiem adalah pemuda Indonesia kelahiran Singapura, 4 Juli 1984.
Begitu juga aplikasi Traveloka yang dibangun Ferry Unardi bersama dua kawannya, Derianto Kusuma dan Albert Zhang, sejak Oktober 2012. Ferry merupakan pemuda kelahiran Padang, Sumatera Barat, pada 16 Januari 1988. Ada juga aplikasi Bukalapak.com yang didirikan Achmad Zaky sejak 2010. Achmad merupakan pemuda kelahiran Sragen, Jawa Tenagh, 24 Agusus 1986.
Tiga pendiri start up atau usaha rintisan berbasis aplikasi ini merupakan salah satu contoh pemuda Indonesia yang terbilang sukses. Bahkan, ketiganya telah masuk ke dalam usaha rintisan bergelar unicorn. Gelar itu diberikan kepada usaha rintisan yang memiliki nilai valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS. Nilai valuasi merupakan nilai dari suatu usaha rintisan, nilai yang bukan sekadar diperoleh dari investor.
Baca juga: Pengelolaan Mahadata ”Unicorn” Bentuk ”Pertambangan” Baru
Nilai valuasi merupakan nilai dari suatu usaha rintisan, nilai yang bukan sekadar diperoleh dari investor.
Big data
Gratis bukan alasan utama aplikasi seperti Go-Jek, Traveloka, dan Bukalapak.com diinstal hingga jutaan pengguna. Buktinya banyak aplikasi gratis lain yang tersedia di Google Play tetapi tidak banyak diminati. Pelaku usaha rintisan memiliki strategi khusus untuk semakin mengetahui kebutuhan pengguna aplikasi mereka. Strategi itu telah mengubah banyak skema bisnis dan sosial masyarakat. Mereka memanfaatkan strategi analisis big data.
Menurut Bernard Marr (2016), ide big data mengacu pada anggapan bahwa semua yang manusia lakukan akan meninggalkan jejak digital/data. Jumlah data yang tersedia secara harfiah akan semakin banyak. Bahkan, dua tahun terakhir sebelum 2016, Marr menyebutkan data yang diciptakan lebih banyak dibandingkan sejarah umat manusia sebelumnya. Tahun 2020 diperkirakan setiap manusia di planet ini akan menghasilkan 1,7 megabyte data baru setiap detik.
Data ini tidak hanya datang dari jutaan pesan dan surel yang dikirim setiap detiknya melalui Gmail, Whatsapp, Facebook, atau Twitter. Namun juga dari 1 triliun foto digital yang diambil setiap tahunnya dan peningkatan jumlah data video. Setiap menit tercatat ada sekitar 300 jam video baru yang diunggah di Youtube dan 3 juta video di Facebook.
Selain itu, ada juga data yang diperoleh dari sejumlah sensor di sekitar pengguna. Ponsel pintar terbaru telah memiliki sensor untuk mengetahui posisi pengguna (GPS), seberapa cepat pengguna bergerak (akselerometer), arah hadap posisi pengguna (kompas), seberapa sering pengguna menekan layar (sensor sentuh), dan masih banyak lagi. Semua data ini terkoneksi melalui internet. Melimpahnya data itu dapat digunakan dan dianalisis untuk membuat pengguna atau pengolah data menjadi lebih pintar.
Hal inilah yang dijadikan peluang bagi sejumlah pelaku usaha rintisan di Indonesia dan di seluruh dunia. Contohnya Go-Jek yang memanfaatkan data pengguna aplikasi seperti rekam jejak perjalanan, jenis makanan yang dibeli, daftar belanjaan, hingga jadwal pijat. Data itu mereka kumpulkan dan dianalisis untuk menebak kebiasaan setiap pengguna aplikasi.
Maka tidak heran jika seseorang membuka aplikasi itu kemudian memilih Go-Ride atau Go-Car, pada kolom tujuan muncul beberapa alamat yang sering dijadikan tujuan pelanggan. Jika tebakan itu benar, pengguna tidak perlu banyak klik sehingga mereka lebih senang dan makin adiktif dengan aplikasi Go-Jek.
Begitu juga Bukalapak.com yang juga menganalisis big data untuk mengembangkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Bukalapak menggunakan AI untuk mengenali dan memprediksi suatu pola seperti perilaku penipuan dari sebuah transaksi.
Selain itu, AI juga dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi jenis belanjaan yang biasa dicari si pembeli. Hal ini dapat dirasakan ketika suatu saat seorang pengguna aplikasi ini mencari barang di Bukalapak.
Contohnya seorang pembeli lensa kamera. Tidak lama kemudian, produk-produk lensa kamera dan sejenisnya akan muncul di sela-sela iklan di media sosial si pengguna aplikasi Bukalapak ini. Setiap aplikasi memberi nama berbeda untuk jenis iklan seperti ini, misalnya Adsense untuk Google.
Hal serupa juga dilakukan perusahaan di Amerika, yaitu Facebook. Perusahaan rintisan Mark Zuckerberg ini memanfaatkan data lebih dari 1,5 miliar pengguna yang aktif setiap bulannya. Data yang mereka manfaatkan lebih detail dibandingkan aplikasi lain karena lebih personal. Facebook dapat mengakses data demografi pengguna, seperti lokasi tinggal, lokasi bekerja, jumlah teman yang dimiliki, hobi, hingga film/buku/musik favorit.
Data ini salah satunya mereka gunakan untuk menawarkan iklan produk dari banyak perusahaan sesuai dengan karakteristik setiap pengguna. Hasilnya tahun 2014 Facebook berhasil menguasai 24 persen pasar iklan daring di Amerika dengan pendapatan 5,3 miliar dollar AS. Potensi besar big data dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan bisnis di era teknologi digital ini. (SHARON PATRICIA)