Tingkat Kepatuhan Pejabat Lembaga Yudikatif Hanya 14,58 Persen
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kepatuhan para pejabat pada lembaga yudikatif dalam membuat laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN secara periodik setiap tahun hanya mencapai 14,58 persen. Untuk meningkatkan kepatuhan, pemberlakuan sanksi keuangan dinilai bakal lebih efektif dibandingkan sanksi administrasi.
Lembaga yudikatif yang menjadi obyek wajib lapor adalah Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 23.880 pejabat yang menjadi wajib lapor, hanya 3.482 orang yang sudah membuat laporan LHKPN.
Untuk meningkatkan angka kepatuhan, lembaga seperti MA menjadikan bukti pelaporan LHKPN sebagai syarat untuk mendapat promosi jabatan. Hal ini telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. Selain itu, Hatta Ali selaku Ketua MA mengatakan, pihaknya juga tetap melakukan sosialisasi.
”LHKPN kita jadikan salah satu syarat untuk promosi. Jadi, mereka harus membuktikan laporan untuk mengikuti promosi jabatan. Kalau belum, kan, rugi sendiri. Untuk penyerahan awal tahun ini, kami sudah surati semua pejabat di daerah,” ujarnya saat ditemui setelah acara Laporan Tahunan MA di Jakarta, Rabu (27/2/2019).
Ditemui pada kesempatan yang sama, Ketua MK Anwar Usman juga mengatakan, MK akan kooperatif dalam meningkatkan angka kepatuhan pelaporan di institusinya.
”Masih ada waktu sebelum hari tenggat 31 Maret. Insya Allah, kita akan bekerja sama siapkan LHKPN. Saya sendiri sudah minta anak buah saya mengurus (LHKPN saya),” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan menilai, upaya para pimpinan lembaga yudikatif tersebut masih kurang efektif. Dalam kurun beberapa tahun, angka pelaporan LHKPN tidak naik signifikan meski ada sanksi administratif yang diterapkan.
Sanksi keuangan
Pahala mengatakan, sanksi keuangan akan lebih memotivasi para pejabat untuk melaporkan LHKPN. Langkah ini, sebagai contoh, telah diterapkan pimpinan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM).
Sanksi ketidakpatuhan yang dibuat Kementerian ESDM membuat para pejabat dan pegawai yang tidak menyerahkan LHKPN kesulitan mengakses sistem kepegawaian. Hal ini kemudian berdampak pada tunjangan kinerja yang didapat pegawai.
”Mungkin memang harus pakai pendekatan moneter (keuangan). Tidak perlu sampai memotong tunjangan, tetapi penundaan saja. Dengan demikian, jumlah hakim yang hampir 8.000 itu harus lebih kerja keras,” ujarnya saat ditemui, Senin (27/2), di Kantor KPK, Jakarta.
Meski dipertanggungjawabkan pada KPK, sanksi administratif pelaporan LHKPN adalah wewenang instansi. Ini antara lain diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan aturan di internal lembaga masing-masing.
Kepatuhan untuk menyerahkan LHKPN menjadi salah satu ukuran keseriusan penyelenggara negara dalam mematuhi aturan. Hal ini didasari peraturan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Kemudian UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi dan Peraturan KPK No 7/2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. (ERIKA KURNIA)