BRUSSEL, KOMPAS – Isu deforestasi global yang berdampak pada perubahan iklim secara ekstrem telah mengancam lingkungan hidup yang menjadi tempat tinggal berbagai keanekaragaman hayati. Maka, isu ini merupakan persoalan bersama yang memerlukan penanganan secara komprehensif.
Dalam Laporan Khusus Panel Ahli Perubahan Iklim Antarpemerintah, Oktober 2018, para pakar menyatakan kenaikan suhu global 1,5 derajat celsius akan mengakibatkan kehilangan 6 persen spesies serangga, 8 persen tanaman, dan 4 persen vertebrata. Jika kenaikan suhu 2 derajat celsius, bumi lebih dirugikan karena kehilangan 18 persen serangga, 16 persen tanaman, dan 8 persen vertebrata (Kompas, 15/2/2019).
Terkait persoalan ini, perlu ada kebijakan dan komitmen yang kuat antarpemerintah di berbagai negara untuk melindungi lingkungan hidup. Di Indonesia, hal ini diupayakan dengan memberikan aspirasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial, yaitu ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Paparan ini mengemuka dalam dialog interaktif Capacity4Change (C4C): Sustainable Agricultural Supply Chains and EU Action on Deforestation and Forest Degradation. Dialog ini diadakan oleh German Agency for Development (GIZ) dan Conservation International (CI) di Brussel, Belgia, Selasa (26/2/2019) lalu.
Dalam keterangan pers yang diterima Kompas di Jakarta, Kamis (28/2/2019), dialog diadakan dalam rangka berdiskusi mengenai strategi bersama untuk menangani deforestasi dan bertukar pandangan soal praktek terbaik dalam program berkelanjutan. Diskusi ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan pemerintah di Uni Eropa, kalangan swasta, akademisi, dan NGO dan Indonesia selaku negara produsen.
Secara khusus, acara ini juga diselenggarakan untuk memfasilitasi pertukaran pandangan mengenai EU Communication on Action Deforestation and Forest Degradation yang akan dipublikasikan Uni Eropa pada pertengahan tahun 2019.
Hadir sebagai pembicara dalam dialog ini, antara lain, Wakil Ketua Komite Environment, Public Health and Food Safety (ENVI) Parlemen Eropa, Benedek Jávor; Direktur, Food and Agriculture Organization/FAO for the European Union, Rodrigo Montoya; perwakilan dari Komisi Eropa, Deputy Director General, German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ), Stefan Schmitz; Wakil Presiden Conservation International, Herbert Lust; Wakil Presiden Public Affairs Starbucks, Haley Drage; Deputy Director GIZ, Maike Möllers; Ministry of Agriculture, Nature and Food Quality of the Netherlands, Mondelez; dan perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel, Andi Sparringa.
Andi menyampaikan, meski terdapat perdebatan mengenai isu deforestasi, Indonesia dan Uni Eropa perlu meningkatkan kemitraan yang efektif dengan seluruh pemangku kepentingan. Hal ini diarahkan untuk penguatan program yang membawa manfaat langsung bagi petani kecil.
“Penting bagi semua pihak untuk memiliki pendekatan forward looking guna mendukung upaya pencapaian UN Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan. Kemitraan kuat Indonesia – Uni Eropa di sektor ini terefleksi antara lain oleh skema Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) yang perlu terus dikuatkan ke depan,” katanya.
Perbaiki perspektif
Menyinggung soal kelapa sawit, Dionne Heijnen (Mondelez), sebagai perwakilan dari kalangan industri Eropa di sektor makanan dan minuman, menekankan pentingnya untuk memperbaiki perspektif di Eropa. Masyarakat Eropa masih cenderung menilai minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai sumber deforestasi.
“Padahal, terlihat jelas upaya pemerintah Indonesia dalam mempromosikan minyak kelapa sawit lestari termasuk melalui komitmen untuk bekerja sama dengan pihak industri”, tukasnya.
Dalam hal ini, Lust mengutarakan, terdapat banyak contoh model program seperti pendekatan lanskap berkelanjutan yang telah berhasil di lapangan. Model ini perlu ditingkatkan secara serius untuk dipertimbangkan oleh Uni Eropa dalam penyusunan strategi mengatasi deforestasi.
“Aplikasi program seperti ini telah diimplementasikan bersama dengan pemerintah lokal di Indonesia seperti di daerah Mandailing Natal (Madina), Tapanuli Selatan (Tapsel), Tapanuli Utara, Pakpak Bharat, serta Papua Barat,” ujar Lust.
Möllers menambahkan, ada juga program Deutsche Gesellscharft fur International Zusammenarbeit (GIZ) di Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) yang dikenal dengan Forests and climate change programme (FORCLIME). Program ini mengedepankan pendekatan lanskap dan rencana penggunaan lahan yang menitikberatkan pada pemberdayaan petani kecil.
Ketua Satuan Tugas Kelapa Sawit The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Erik Meijaard mengatakan, kajian tentang CPO mesti dilihat secara komprehensif. “Deforestasi global akibat minyak sawit tidak sampai 1 persen. Namun, kebanyakan orang menduga minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi,” katanya (Kompas, 6/2/2019).
Tidak ada homogenous solution (satu solusi) untuk atasi deforestasi. Jávor mengatakan, perlu pendekatan komprensif yang juga libatkan dialog berkelanjutan, juga dengan negara produsen (termasuk Indonesia) untuk atasi masalah bersama ini.
Deforestasi merupakan salah satu isu penting di Uni Eropa yang sering dikaitkan sebagai akibat perluasan lahan pertanian. Dalam hal ini, masih terdapat pandangan dari sebagian pihak di Eropa bahwa sawit merupakan penyebab deforestasi.
Oleh karenanya, perlu didorong upaya bersama untuk menyebarkan informasi yang berimbang. Selain itu perlu diinformasikan terkait upaya nyata pemerintah bersama pemangku kepentingan dalam penguatan sawit lestari di Indonesia.
Dalam forum, keterbukaan dan komitmen pemerintah Indonesia untuk memperkuat kemitraan di bidang terkait disambut secara positif oleh para pemangku kepentingan di Eropa. Momentum ini perlu dimanfaatkan untuk terus menjajaki kemitraan dengan mengedepankan kepercayaan. (SHARON PATRICIA)