Siang itu, Jumat (22/2/2019), Sumiati (60) mengecas senternya. Alat penerangan itu menjadi bekalnya, selain kesabaran, untuk menjaga warga desa dari serangan demam berdarah dengue. Sebagai juru pemantau jentik, mendapat penolakan hingga dianggap peminta sumbangan adalah hal biasa.
“Hari ini, enggak keliling dulu. Mau ngaji,” ucapnya saat ditemui di rumahnya di Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sejak Januari, biasanya, ia blusukan dari rumah ke rumah untuk mengecek potensi sarang nyamuk Aedes aegypti sebagai pembawa DBD.
Setelah meminta izin si pemilik rumah, ia langsung menuju ke kamar mandi. Senter yang dibeli dengan uang pribadi itu lalu diarahkan ke bak kamar mandi, sudut demi sudut. Kaca mata membantu matanya yang rabun. Jika ditemukan jentik nyamuk, Sumiati memberikan bubuk abate lengkap dengan cara penggunaannya.
Setiap hari, kalau cuaca mendukung, bisa 20 sampai 25 rumah yang saya datangi
“Kalau musim hujan seperti sekarang, bak kamar mandi harusnya dibersihkan tiga kali sehari,” ujarnya kepada pemilik rumah. Ia lalu mengecek jemuran dan tempat yang rentan menjadi sarang nyamuk.
Ia sekaligus mensosialisasikan 3M; menguras dan menutup rapat semua penampungan air serta mengubur atau mendaur ulang barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air. “Setiap hari, kalau cuaca mendukung, bisa 20 sampai 25 rumah yang saya datangi,” ujar ibu rumah tangga itu.
Begitulah kegiatan Sumiati sejak bergabung menjadi kader jumantik dua tahun lalu. Sebelum itu, sejak 1992, ia sudah aktif sebagai kader posyandu.
Saya juga sering dianggap peminta sumbangan. Mungkin, karena bawa map
Sebagai jumantik, Sumiati menerima aneka respons masyarakat. Ada yang senang rumahnya didatangi. Tetapi tidak sedikit pula yang menolak. Biasanya, mereka menolak dengan menutup pintu atau buru-buru pergi.
“Ada juga yang mau diperiksa rumahnya tetapi minta amplop. Saya juga sering dianggap peminta sumbangan. Mungkin, karena bawa map. Semua saya anggap candaan saja,” ujar istri pensiunan tentara ini. Map yang ia bawa berisi daftar rumah warga yang akan diperiksa dan surat tugas dari Puskesmas Pamengkang.
Sebenarnya, honor sebagai jumantik sekitar Rp 40.000 per bulan tak seberapa jika ia menjaga toko jamu di rumahnya. “Saya suka ketemu warga. Hitung-hitung ibadah,” ujar Sumiati tersenyum.
Perjuangan nenek enam cucu itu memang tidak ringan. Kaki rentanya tak sanggup dibawa berkeliling lebih dari 3.000 rumah. Maklum, jumantik di desanya hanya ia seorang.
Meski demikian, masyarakat memetik hasil jerih payahnya. Hingga pekan ketiga Februari, tidak terdapat kasus DBD di desanya. Bahkan, Setupatok tidak lagi menyandang predikat endemis, yakni desa yang kasus DBD ditemukan setiap tahun dalam tiga tahun terakhir.
Mengusik usaha
Tantangan sebagai jumantik juga dirasakan Ertin (37), warga Desa Kasugengan Lor, Kecamatan Depok. Ia sempat dianggap mengusik mengusik usaha warga setempat yang berprofesi sebagai perajin mebel berbahan ban bekas.
Penyebabnya, ia kerap datang ke rumah warga untuk meminta agar tumpukan ban dimasukkan ke ruangan atau ditutup. Selama ini, ban bekas motor hingga truk ditumpuk begitu saja di tempat terbuka. Saat hujan, ban menjadi tempat genangan air dan rentan sebagai sarang nyamuk.
“Sekarang, warga sudah mulai sadar meskipun awalnya ada yang marah-marah,” ujar kader jumantik sejak 2017 itu. Kiprahnya membawa Kasugengan Lor keluar dari kategori endemis tahun 2018.
Ertin tidak ingin warga merasakan apa yang ia alami beberapa tahun lalu. Saat kedua anaknya terjangkit DBD. Seorang anak tetangganya juga meninggal dunia akibat penyakit menular itu. Desanya pun sempat menjadi langganan pengasapan (fogging) petugas.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kabupaten Cirebon Nanang Ruhyana mengatakan, peran 976 kader jumantik di 424 desa/kelurahan di Cirebon dapat menekan laju kasus DBD. Hingga pertengahan Februari, tercatat 106 kasus DBD. Pihaknya tidak menerima laporan korban jiwa karena DBD.
Tahun lalu, pihaknya mendata 215 kasus DBD dengan 8 kematian. Jumlah itu menurun dibandingkan 2016 dengan 19 kematian dari 1.877 kasus. Jejak DBD terparah terjadi pada 2006 dengan jumlah kematian mencapai 62 dari 1.524 kasus.
Meski demikian, jumantik belum dilakukan menyeluruh dan rutin. Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Bidang P2P Dinkes Kabupaten Cirebon Sartono mengatakan, kendalanya ialah minimnya kader jumantik. Seharunya, lanjutnya, satu rumah memiliki satu jumantik (saruntik).
Di sisi lain anggaran untuk jumantik di setiap puskesmas yang berasal dari biaya operasional kesehatan baru turun sekitar Maret. “Padahal, puncak DBD kan mulai Desember. Seharusnya, pencegahan bisa dilakukan sebelum itu,” ujarnya.
Pemberantasan sarang nyamuk melalui peran jumantik dinilai efektif mencegah DBD. Namun, kaki Sumiati dan kader lainnya tentu kewalahan berkeliling ke ribuan rumah warga. Saruntik seharusnya bisa menjadi solusi antisipasi DBD. Jika belum bisa berbuat untuk lingkungan sekitar, begitu sulitkah menjaga kebersihan rumah sendiri, setidaknya dari sarang nyamuk?