Kualitas Garam Rendah
Minimnya penerapan teknologi dalam pengolahan garam rakyat membuat kualitas garam yang dihasilkan juga masih rendah.
CIREBON, KOMPAS Usaha garam rakyat perlu menerapkan teknologi yang tepat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas garam rakyat. Tanpa itu, Indonesia rentan terus bergantung pada impor untuk mendapatkan garam berkualitas.
Sepekan terakhir di sentra garam nasional di Jawa Barat (Cirebon dan Indramayu), banyak petani masih mengandalkan cara tradisional. Selain masih bergantung pada terik matahari dalam pembuatan garam, lahan petani umumnya masih beralas tanah.
Kondisi ini mengakibatkan kualitas garam rakyat rendah, hanya masuk kualitas III dengan harga Rp 700 per kilogram. Secara fisik, garam tersebut putih kecoklatan karena terkontaminasi tanah.
Hal itu berbeda dengan petani yang mulai menerapkan teknologi geomembran. Geomembran adalah sistem produksi garam dengan cara mengalirkan air laut ke dalam kolam penampungan yang sudah dilapisi plastik, terpal, ataupun karpet khusus. Tujuannya agar garam tidak bersentuhan langsung dengan tanah.
Cara ini diklaim meningkatkan kualitas garam meski proses panen bisa sampai 10 hari atau tiga hari lebih lama dibandingkan cara konvensional. Garam yang dihasilkan teknologi ini masuk kualitas I dengan harga Rp 900 per kg.
Meski menguntungkan, banyak petani belum menerapkannya. Berdasarkan data Pemprov Jabar akhir 2017, total lahan garam di Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Karawang 5.749 hektar. Namun, baru 1.762 hektar yang menggunakan geomembran.
Alasan petani tidak menggunakan teknologi itu beragam, mulai dari dugaan hasilnya yang tidak maksimal, minimnya pendampingan bagi petani, hingga ketidakmampuan menyediakan teknologi itu secara mandiri.
”Jika pakai teknologi geomembran dengan karpet, garamnya basah dan menyusut banyak. Penggunaannya juga merepotkan dan lama memanennya,” ujar Rasdi (46), petani garam di Desa Astanamukti, Pangenan, Cirebon, Minggu (24/2/2019).
Menurut Rasdi, petani memilih segera mendapatkan uang untuk menyiapkan modal sewa lahan musim berikutnya. Alasannya, petani kadang berutang kepada tengkulak karena harus menunggu sebulan untuk pengolahan lahan sebelum panen.
Kasani (42), petani garam di Losarang, Indramayu, mengaku enggan menggunakan teknologi itu karena ongkos produksi yang tinggi untuk membeli karpet, berkisar Rp 1,8 juta-Rp 3,2 juta, bergantung ukuran tambak. ”Ini mahal dan tidak sebanding dengan pendapatan hasil jual garam,” ujarnya.
Bantuan teknologi
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2014 memberi bantuan teknologi, seperti karpet dan mesin pompa kepada petani di Jabar. Namun, sejumlah petani mengatakan bantuan itu tidak merata.
Menurut Sudin (62), petani garam Losarang, Indramayu, penerima bantuan karpet cuma segelintir orang. Ridwan (40), petani lainnya di Losari, Cirebon, mengatakan, penerima bantuan sering kali bukan petani garam dan pemilik lahan.
”Akhirnya, bersama petani lainnya, kami sepakat tidak menerima bantuan karena teknis pelaksanaannya tidak sesuai,” ujar Ridwan.
Sementara Tasnan (60), petani garam di Losari, mengatakan, petani juga minim pendampingan terkait cara menggunakan alat itu dan pascapanen. Akibatnya, banyak penerima bantuan menjual karpet dengan harga Rp 500.000, jauh dari harga seharusnya Rp 3,2 juta. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan modal.
Kepala Seksi Pengembangan Usaha Laut dan Perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Yuliah Harwati mengatakan, pihaknya kerap ke lapangan untuk mendampingi petani. Penyaluran bantuan juga diklaim tepat sasaran. ”Petani masih sulit beralih dari cara lama,” katanya.
Beragam persoalan itu pada akhirnya membuat kualitas garam petani masih di bawah standar. Kepala Bidang Pemberdayaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Yanto mengatakan, dari total produksi 483.000 ton tahun lalu, hanya 20 persen yang masuk kualitas I dengan kadar natrium klorida di atas 94 persen.
Hasil panen di Cirebon itu hampir sepertiga dari target produksi garam nasional tahun 2018. Berdasarkan data KKP, produksi per Desember 2018 sebanyak 2.719.256 ton (Kompas, 21/1/2019).
Minimnya penerapan teknologi juga membuat produksi garam rakyat hanya bergantung pada musim kemarau. Saat kemarau basah 2016, produksi garam tercatat 137.600 ton atau 4,6 persen dari target produksi nasional, yakni 3 juta ton.
Kondisi ini ikut memicu impor garam untuk keperluan industri. Tahun lalu, kuota impor 3,7 juta ton. Jumlah itu melonjak dibandingkan impor garam industri pada 2016 sebanyak 2,1 juta ton dan 1,9 juta ton pada 2015. (WIN/IKI)