BOLAANG MONGONDOW, KOMPAS Hingga Rabu (27/2/2019) pukul 19.00 Wita, 23 petambang dievakuasi dari reruntuhan di dalam lubang tambang emas ilegal di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Dari jumlah itu, 19 orang selamat meski luka-luka dan 4 orang meninggal. Diperkirakan 37 petambang masih terjebak hidup di dalam lubang tambang.
”Kami evakuasi dengan penggalian manual karena ada petambang masih merespons dari dalam lubang-lubang tambang ketika kami memanggil-manggil mereka dari luar,” kata Kepala Koordinator Pos Pencarian dan Pertolongan Kabupaten Bolaang Mongondow Rusmadi saat dihubungi dari Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (27/2).
Ia memastikan regu pencarian yang berjumlah 200 orang bekerja 24 jam. Tim pencarian itu berasal dari unsur SAR Basarnas, TNI-Polri, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Bolaang Mongondow, tim penyelamat dari perusahaan tambang di sekitar lokasi penambangan emas tanpa izin (PETI), dan masyarakat setempat.
Meskipun demikian, kondisi lapangan, seperti risiko longsor susulan dan penerangan, tetap dipertimbangkan.
Longsor terjadi Selasa malam. Basarnas Kantor SAR Manado memperkirakan total 60 petambang tertimbun berdasarkan keterangan yang selamat.
Menurut Rusmadi, longsor bukan karena hujan. Saat kejadian, lokasi pertambangan emas itu tidak sedang diguyur hujan. Longsor atau runtuhnya tanah di dalam lubang diduga karena tiang dan kayu penyangga lubang patah.
Kepala Kepolisian Resor Kotamobagu Ajun Komisaris Besar Gani F Siahaan menegaskan, fokus utama saat ini mengevakuasi korban. Ia sepakat mengevakuasi secara manual agar korban yang masih hidup di dalam lubang-lubang tambang bisa dievakuasi dengan selamat.
Empat tahun beroperasi
Lokasi PETI di Bolaang Mongondow ada di pegunungan berhutan. Lokasinya sekitar lima jam jalan darat dari Manado, ibu kota Provinsi Sulut. Jarak dari perbatasan Kotamobagu sekitar 20 kilometer.
Tokoh muda Bolaang Mongondow, Yohanes Rio Renyaan, menyatakan, PETI dilakukan warga sejak empat tahun lalu. ”PETI sudah agak lama ada, tetapi ramai dalam empat tahun terakhir. Warga sekitar menggantungkan hidup pada PETI itu,” katanya.
Menurut Rio, laki-laki usia kerja di kampung-kampung sekitar lokasi tambang emas ilegal hampir semuanya mengadu nasib di tambang. Mereka bekerja di sana, mulai dari menggali lubang, pengawal/mandor di lokasi, hingga buruh pengangkut material yang diduga mengandung emas.
Perputaran uang di lokasi tambang dinilai menguntungkan warga. Longsor di PETI itu bukan pertama kali. Pertengahan tahun lalu, longsor di lubang berbeda dengan saat ini menewaskan enam orang (Kompas, 22/6/2018). Di lokasi PETI lain di Sulut, pada 2013, dua petambang tewas tertimbun longsor di Desa Tatelu, Kecamatan Talawaan, Minahasa Utara (Kompas, 5/3/2013).
PETI di Sulut tersebar di banyak tempat. Selain di Kabupaten Bolaang Mongondow, ada juga di Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow Timur, Sangihe, dan Bolaang Mongondow Utara.
Dari jumlah itu, hanya dua lokasi yang direkomendasikan pemerintah, yakni di Tobongan, Bolaang Mongondow Timur, dan di Tatelu, Minahasa Utara.
Kepala Seksi Tanggap Darurat BPBD Bolaang Mongondow Abdul Muin mengatakan, evakuasi terpaksa dihentikan Rabu menjelang malam karena kabut tebal. Tim menghindari risiko batu-batu yang menggelinding ketika evakuasi tak dapat diantisipasi saat pencahayaan kurang.
Hingga Rabu sore dari dalam lubang tambang masih terdengar balasan suara petambang yang terjebak. ”Soal jumlah pastinya masih simpang siur,” katanya. (VDL)