JAKARTA, KOMPAS-- Pembangunan jembatan penyeberangan orang dengan konsep modern perlu diperluas dan tidak hanya terpaku di pusat kota. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta juga perlu mempertimbangkan pemeliharaan fasilitas jembatan penyeberangan orang (JPO) agar nilai aset fasilitas umum tidak turun.
Revitalisasi JPO dengan anggaran pelampauan koefisien lantai bangunan (KLB) juga perlu diaudit dengan matang untuk mencegah celah korupsi. Pada Kamis (28/02/2019), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan JPO Gelora Bung Karno (GBK), JPO Bundaran Senayan, dan JPO Polda Metro Jaya yang telah dibangun sejak November 2018 dengan anggaran pelampauan KLB.
JPO ini berkonsep modern dengan desain pinggir jembatan berbentuk kotak-kotak dan dilengkapi dengan sejumlah fasilitas penunjang seperti lift serta menggunakan lantai yang landai sebagai pengganti tangga.
"Setelah perhelatan Asian Para Games, pemerintah berencana membangun JPO yang ramah disabilitas dan ibu-ibu hamil. Selain itu, JPO ini dilengkapi dengan lampu-lampu futuristik yang menambah estetika keindahan kota," ucap Anies di JPO GBK.
Anies mengatakan, ia berencana untuk menutup jalur penyeberangan pejalan kaki (pelican cross) di dekat JPO GBK karena pembangunan JPO telah selesai. Selain itu, untuk JPO Polda Metro Jaya masih dalam tahap penataan trotoar sehingga belum bisa digunakan.
Anies menjelaskan, pembangunan JPO ini telah melewati tahap rencana pembangunan oleh pemerintah. Ia menambahkan, nantinya pemerintah akan melakukan audit yang jelas terhadap setiap proyek yang menggunakan anggaran KLB.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengapresiasi pembangunan JPO modern di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin ini. Namun, ia menyayangkan, seharusnya pembangunan JPO berkonsep modern ini tidak hanya dibangun di pusat kota saja.
"Masih banyak JPO di daerah Jakarta pinggiran yang memerlukan perhatian khusus. Berdasarkan catatan kami, ada 30 JPO jakarta yang perlu dibongkar karena usianya yang sudah tua dan fasilitasnya tidak memadai," katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Alfred mengatakan, meski pembangunan JPO perlu diperluas, namun Pemprov DKI Jakarta juga perlu memperhatikan pembangunan pelican cross untuk pejalan kaki. Menurut ia, pejalan kaki pasti akan lebih memilih menyebrang melalui pelican cross.
"Orang-orang pasti lebih memilih untuk menyebrang di pelican cross dibandingkan JPO dengan desain unik yang paling hanya digunakan untuk swafoto saja," ujarnya.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, untuk membuat pelican cross, pemprov memerlukan pertimbangan yang matang terkait rekayasa lalu lintas nantinya. Menurut ia, perlu ada koordinasi lagi dengan Dinas Perhubungan DKI jika ingin membangun pelican cross.
Hari menjelaskan, selain menggunakan anggaran KLB, pemprov juga akan merevitalisasi 8 JPO dengan biaya pembangunan setiap JPO sebesar Rp 11 miliar- Rp 15 miliar. Kemudian di tiap JPO ini juga akan dipasang lift untuk memfasilitasi penyandang disabilitas, lansia, dan ibu hamil.
Dana KLB
Hari menambahkan, pembangunan JPO ini menggunakan anggaran pelampauan KLB dengan perkiraan biaya Rp 53 miliar untuk ketiganya. Dalam proyek ini, PT Permadhani Khatulistiwa Nusantara sebagai penanggung dana KLB. Kemudian, yang menjadi kontraktor yaitu PT Abadi Prima Intikarya, konsultan pengawas PT. Perentjana Djaja, dan Konsultan Perencana PT Arkonin.
"Pada tahun 2019 ini, kami akan membangun lagi dua JPO berkonsep modern dengan menggunakan anggaran pelampauan KLB, yaitu di Pasar Minggu dan Jembatan Gantung Daan Mogot," ujarnya.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, mengatakan, anggaran pelampauan KLB berpotensi menimbulkan celah korupsi. Menurut ia, jika pemprov tidak teliti dalam melakukan audit terhadap fasilitas umum yang dibangun oleh perusahaan swasta, bisa terjadi penggelembungan dana.
"Anggaran KLB ini sempat menimbulkan pro dan kontra di era Joko Widodo dan Basuki ketika menjadi gubernur. Kemudian, Gubernur Anies kembali menggunakan lagi anggaran KLB," ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Firdaus menjelaskan, anggaran untuk dana KLB ini baru bisa tercatat dalam APBD setelah fasilitas yang dibangun selesai dan memiliki nilai asset. Pemprov baru akan membayarkan biaya pembangunannya kepada pihak swasta yang menanggung dana KLB setelah fasilitas tersebut jadi.
"Pihak swasta yang membangun fasilitas bisa saja menggelembungkan dana pembangunan suatu fasilitas umum. Oleh sebab itu perlu ketelitian dan transparasi dalam melakukan audit pembangunan fasilitas ini," katanya.
Firdaus mengatakan, pemprov juga perlu mempersiapkan dana pemeliharaan, agar fasilitas umum ini tidak rusak dan nilai asetnya menjadi berkurang. Selain itu, pemprov perlu membuat prioritas kebutuhan masyarakat sehingga anggaran KLB bisa efektif digunakan.