Peradilan Modern Topang Pembangunan Ekonomi
JAKARTA, KOMPAS – Peradilan modern berbasis teknologi informasi menjadi faktor penting untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pada saat yang sama, modernisasi diperlukan guna mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan sistem peradilan Indonesia.
”Sebagai negara besar, Indonesia punya potensi besar; sumber daya alam yang kaya, sumber daya manusia yang kuat, dan potensi ekonomi yang luar biasa. Namun harus diakui semua potensi tersebut belum optimal didayagunakan. Salah satu penyebabnya adalah berbagai permasalahan di bidang hukum,” kata Presiden Joko Widodo dalam pidato pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) di Jakarta, Rabu (27/02/2019).
Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua MA Hatta Ali mendampingi Presiden dalam kesempatan itu. Hadir sejumlah duta besar, ketua MA dari beberapa negara sahabat, serta menteri dan beberapa pejabat tinggi negara Republik Indonesia.
Presiden menyatakan, pemerintah telah berupaya melakukan berbagai langkah dalam empat tahun terakhir. Misalnya adalah pemberantasan korupsi dan pungutan liar, penyederhanaan regulasi dan perizinan, serta reformasi birokrasi.
”Ini semua merupakan upaya untuk menciptakan kepastian hukum yang pada akhirnya akan berdampak pada iklim investasi yang kondusif dan kondisi perekonomian bangsa yang membaik. Namun apa yang dilakukan pemerintah tidak akan ada artinya apabila tidak diimbangi dengan dukungan lembaga peradilan,” kata Presiden.
Untuk itu, Presiden mengapresiasi MA yang telah melakukan berbagai terobosan di bidang peradilan. Salah satunya adalah penerepan e-court. E-court adalah aplikasi layanan peradilan secara elektronik, mulai dari pendaftaran perkara, pembayaran uang perkara, sampai pemberitahuan dan pemanggilan persidangan.
E-court dan terobosan lain yang dilakukan MA dengan menerapkan teknologi informasi, menurut Presiden, turut menjadi kunci dalam keberhasilan Indonesia melakukan berbagai lompatan kemajuan dalam beberapa tahun terakhir.
Lompatan yang dimaksud antara lain adalah melonjaknya peringkat Indonesia dalam hal kemudahaan bisnis, dari peringkat 120 menjadi peringkat 73. ”Di situ ada peran penting dari reformasi di lembaga peradilan yang dipimpin oleh MA,” kata Presiden.
Terobosan yang sudah dan sedang dilakukan oleh MA, Presiden melanjutkan, sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan sistem peradilan Indonesia. Sebab, selama ini banyak banyak orang beranggapan bahwa hukum dan keadilan di Indonesia bisa diperjual-belikan.
Presiden berkomitmen memberikan dukungan penuh kepada MA untuk melakukan perbaikan pembaharuan sistem peradilan
Banyak orang beranggapan bahwa peradilan perdata mahal, lama, rumit, dan sulit dieksekusi. Banyak orang beranggapan bahwa yang berkuasa adalah mafia kasus, mafia peradilan. Banyak orang beranggapan bahwa keadilan tidak akan pernah bisa ditemukan di ruang-ruang pengadilan.
”Tapi saya yakin bahwa dengan perbaikan, pembaharuan, dan reformasi terhadap sistem peradilan Indonesia yang dilakukan secara konsisten oleh MA, semua anggapan negatif tersebut akan mulai berubah. Sampai pada titik ketika rakyat merasakan secara nyata bahwa keadilan dapat terwujud di ruang pengadilan,” kata Presiden.
Untuk itu, Presiden berkomitmen memberikan dukungan penuh kepada MA untuk melakukan perbaikan pembaharuan sistem peradilan. ”Sebagai Presiden RI, saya tegaskan bahwa pemerintah akan mendukung insiatif-inisiatif terobosan dari MA yang akan mempercepat hadirnya keadilan di Indonesia,” kata Presiden.
Dalam laporannya sepanjang 47 menit, Hatta Ali, menyatakan, tahun 2018 menandai lompatan besar MA dalam pemanfaat teknologi informasi dengan melakukan modernisasi pada proses kerja dan pelayanan publik. Oleh karena itu, laporan MA 2018 mengangat tema, ”Era Baru Peradilan Modern Berbasis Tenologi Informasi.”
Sistem teknologi informasi MA, menurut Hatta, diarahkan sesuai dengan prinsip efektivitas, keterpaduan, kesinambungan, efisiensi, akuntabilitas, interoperabilitas, dan keamanan. Hal ini sekaligus selaras dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
”Saat ini, hampir semua lini kerja di MA baik di bidang teknis yudisial maupun nonteknis telah ditransformasikan secara digital,” kata Hatta.
Modernisasi tersebut, Hatta melanjutkan, tidak hanya mengubah paradigma pelayanan yang dulunya terkesan birokratis dan tidak efisien tetapi juga mengubah pelayanan menjadi lebih efektif dan efisien. Hal itu juga mendorong terwujudnya transparansi yudisial.
Pemanfaatan teknologi informasi di dunia peradilan, masih menurut Hatta, didukung juga dengan penyiapan sumber daya manusia yang andal dan memiliki komitmen kuat untuk melakukan perubahan. Hal ini ditempuh melalui pelaksanaan pendidikan dan pelatihan teknis secara mandiri dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga mitra.
Dalam kesempatan itu, Hatta memaparkan sejumlah upaya konkret pemanfaatan teknologi informasi dalam tugas-tugas peradilan. Hal ini dimulai dengan aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) versi 3.2.0 pada awal 2018. Sampai saat ini, aplikasi ini telah diterapkan di seluruh pengadilan tingkat pertama. Kemudian pada 13 Juli 2018, MA meluncurkan aplikasi e-court. Hal ini menjembatani kendala geografis wilayah Indonesia yang luas dan berupa kepulauan.
Dalam hal peningkatan kapasitas sumber daya manusia, MA mengembangkan aplikasi e-learning, e-journal, e-registrasi, dan e-library. MA juga mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Kepegawaian versi 3.1.0 untuk memetakan sumber daya manusia, membantu pengambilan kebijakan promosi dan mutasi, serta pemberian sanksi dan penghargaan kepada aparatur peradilan.
Sementara di bidang pengawasan, MA mengembangkan aplikasi Sistem Pengawasan versi 3.0. Badan Pengawasan MA mengembangkan Sistem Informasi Penelusuran Pengaduan guna memantau dan memberikan laporan secara tepat dan akurat serta mempercepat penyelesaian penanganan pengaduan.
Penanganan Perkara
Bersama dengan pembaruan regulasi, menurut Hatta, pemutakhiran sarana teknologi informasi berdampak pada peningkatan kinerja penanganan perkara.
Dalam buku laporannya, MA menyebutkan, total jumlah perkara di 2018 sebanyak 18.544 perkara atau meningkat 3,82 persen ketimbang 2017. Sebanyak 17.862 perkara atau 95,11 persen dari perkara yang ditangani di 2018 telah diputus.
Sebanyak 16.991 perkara atau 96,33 persen dari total perkara diperiksa dalam tempo rata-rata kurang dari 3 bulan. Ini lebih tinggi ketimbang tahun 2017 sebesar 92 persen.
Sebanyak 16.991 perkara atau 96,33 persen dari total perkara diperiksa dalam tempo rata-rata kurang dari 3 bulan. Ini lebih tinggi ketimbang tahun 2017 sebesar 92 persen.
Adapun jumlah denda dan uang pengganti berdasarkan putusan pengadilan mencapai Rp 39,76 triliun atau naik 118 persen dari kinerja 2017. Saat itu, denda dan uang pengganti berdasarkan putusan pengadilan adalah Rp 18,26 triliun.
Secara terpisah, Peneliti Lembaga Kajian dan Independensi Pengadilan (LeIP) Liza Farihah mengapresiasi capaian MA. Modernisasi peradilan melalui pemanfaatan teknologi informasi ini berguna juga sebagai alat kontrol terhadap pengadilan yang ada di bawah sehingga lebih akuntabel dan transparan.
“Masyarakat bisa mengawasi kinerja pengadilan. Sehingga bisa bermanfaat untuk memberantas judicial corruption. Untuk hal ini, selain modernisasi, konsistensi dan kualitas putusan pengadilan menjadi isu. Ketika pencari keadilan berperkara di pengadilan, harapan utama mereka adalah kualitas putusan yang bisa dijalankan, selain aksesibilitas terhadap layanan peradilan yang baik,” ujar Liza.