Perencanaan Anggaran Pendidikan Belum Prioritaskan Pendidikan
Anggaran pendidikan ditetapkan sebesar 20 persen APBD. Kenyataannya, sebagian besar anggaran itu habis untuk gaji pegawai dan belanja tidak langsung.
JAKARTA, KOMPAS — Pembuatan rencana alokasi anggaran pendidikan belum memprioritaskan aspek-aspek yang langsung memengaruhi berjalannya pendidikan dan kualitas pendidikan di sekolah. Sebagian besar anggaran habis untuk gaji pegawai dan belanja tidak langsung.
Hal itu terungkap pada "Diseminasi Hasil Kajian Tematik Pendidikan Dasar" yang dilakukan oleh Yayasan Penguatan Partisipatif, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) - Action Aid, Rabu (27/2/2019), di Jakarta. Penelitian itu dilakukan sepanjang tahun 2018 di Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur), dan Bima (Nusa Tenggara Barat).
Berdasarkan penelitian tersebut, persentase APBD yang habis untuk belanja tidak langsung di Bima sebesar 54 persen, di Sumba Barat 35 persen, dan di Sambas 58 persen. "Mayoritas untuk gaji pegawai negeri dan honorer. Sisanya untuk biaya makan dan transportasi rapat kedinasan," kata pejabat advokasi kebijakan YAPPIKA-Action Aid Rokhmad Munawir.
Anggaran untuk belanja langsung pendidikan dalam penelitian itu juga terungkap tidak tepat guna maupun tepat sasaran. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang lebih condong ke keindahan tampilan gedung sekolah dibandingkan memastikan pemenuhan sarana langsung untuk pembelajaran seperti perpustakaan yang layak, kamar mandi yang bersih, dan alat bantu pembelajaran.
Anggaran untuk belanja langsung pendidikan dalam penelitian itu juga terungkap tidak tepat guna maupun tepat sasaran.
"Pemenuhan sarana dan prasarana sekolah dilakukan melalui sistem lelang. Itu pun memakan biaya untuk pemasangan iklan dan honor panitia lelang yang juga diambil dari anggaran pendidikan," tutur Rokhmad.
Komite sekolah lemah
Perencanaan anggaran yang buruk juga dipengaruhi oleh ketidakterlibatan komite sekolah dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Rokhmad mengatakan, komite sekolah dibentuk berdasarkan surat keputusan kepala sekolah. Ada semacam perasaan sungkan anggota komite terhadap kepala sekolah sehingga tidak mau mempertanyakan keputusan pihak sekolah karena akan mengakibatkan konfrontasi.
Selain itu, menurut Rokhmad, juga ada faktor para anggota komite sekolah banyak yang tidak memiliki cukup pendidikan dan wawasan sehingga tidak paham dunia pendidikan. "Meskipun begitu, semestinya komite memiliki kepercayaan diri untuk meminta keterangan dan pertanggungjawaban kepala sekolah. Salah satu usulan yang ditawarkan ialah membuat komite sekolah berdasar surat keputusan dewan pendidikan daerah agar komite memiliki kewenangan melakukan pengawasan," ujarnya.
Penelitian itu juga menyebutkan bahwa belum ada kejelasan metode pemberian bantuan sekolah. Ada sekolah yang sudah berulang kali mengajukan proposal meminta bantuan untuk perbaikan ruang kelas, tetapi tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah daerah. Sebaliknya, ada sekolah yang tidak pernah meminta bantuan justru diberi dana.
Masalah ini membutuhkan solusi adanya aturan daerah yang jelas mengenai tata cara pengajuan dan penerimaan bantuan. Hendaknya ada aturan seperti bantuan hanya diberikan kepada sekolah yang mengajukan proposal, atau bisa juga aturannya adalah bantuan diberikan bergilir kepada sekolah-sekolah sesuai dengan data dinas pendidikan.
Dibutuhkan juga keterbukaan informasi mengenai prioritas bantuan. Misalnya, dinas mengutamakan sekolah yang ruang kelasnya rusak, jadi sekolah yang meminta bantuan untuk sarana internet memahami mereka tidak didahulukan untuk sementara. "Usulan kepada pemda ialah harus menganggarkan minimal 1 persen dari APBD untuk belanja langsung pendidikan," kata Rokhmad.
Terkait pemberian Kartu Indonesia Pintar (KIP), masih ditemukan anak-anak dari keluarga yang termasuk dalam Program Keluarga Harapan belum menerimanya.
Masih ditemukan anak-anak dari keluarga yang termasuk dalam Program Keluarga Harapan belum menerima Kartu Indonesia Pintar.
Direktur Pembinaan SD Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Khamim mengatakan, sekolah memiliki kewenangan memasukkan data siswa yang layak menerima KIP. Caranya, operator sekolah memutakhirkan data siswa yang bersangkutan di Data Pokok Pendidikan. Di setiap laman data siswa ada kolom yang menanyakan kelayakan siswa itu menerima KIP.
"Tinggal isi kolom itu, data akan masuk bahwa siswa akan diberi KIP. Demikian juga apabila siswa sudah tidak layak mendapat KIP karena ekonomi keluarganya sudah meningkat drastis. Operator sekolah bisa memasukkan di kolom Dapodik. KIP otomatis tidak bisa digunakan," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemdikbud Waspodo Muktiono mengungkapkan sedang melakukan riset mengenai efisiensi dana per unit KIP. Riset itu menghitung kemungkinan dana KIP tidak diberikan sama rata kepada semua siswa, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan yang dilihat dari aspek seperti jarak rumah ke sekolah dan tingkat ekonomi keluarga.