JAKARTA, KOMPAS — Isu sampah plastik dan panas bumi menjadi perhatian Kamar Dagang dan Industri atau Kadin. Sebab, sampah plastik menyumbang pencemaran lingkungan terbesar karena dari total sampah itu, sebanyak 87 persen hanyut ke laut.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, sampah plastik akan diatasi melalui program Gerakan Indonesia Bersih dan Sehat. Poin utamanya adalah tidak memakai kantong plastik sehingga mengurangi volume plastik yang dibuang ke laut.
”Kami tahu apa yang harus dilakukan. Upayanya, nanti akan mengubah sampah menjadi listrik, pupuk, atau campuran aspal,” kata Luhut dalam acara bulanan Kadin Talks di Kadin Lounge Jakarta, Kamis (28/2/2019).
Menurut Ketua Umum Kadin Rosan Perkasa Roeslani, permasalahan sampah perlu secepatnya ditanggulangi. Indonesia menjadi negara dengan produksi sampah plastik terbesar nomor dua.
”Jelas itu yang harus kita tanggulangi bersama-sama, tidak hanya pemerintah, tetapi dunia usaha juga harus dilibatkan karena kami termasuk melakukan,” ujar Rosan.
Risiko yang ditimbulkan dari sampah plastik mengakibatkan banyak efek negatif, antara lain stunting (tengkes) dan kanker. Sebab, sampah plastik akan menjadi mikroplastik. Saat ikan-ikan memakannya, kemudian dikonsumsi oleh manusia, khususnya ibu hamil, kemungkinan besar keturunannya akan tengkes.
Sementara terkait energi terbarukan, pemerintah menargetkan energi terbarukan tahun 2025 bisa mencapai 23 persen, padahal saat ini baru mencapai 8 persen.
Rosan menilai, konsesi energi terbarukan sangat besar, contohnya energi panas bumi (geothermal) sebagai pembangkit listrik tenaga panas bumi. Cadangan energi panas bumi di Indonesia sebesar 40 persen, tetapi masih sangat sedikit pemanfaatannya.
”Perlu ada kebijakan tindakan informatif dari segi perizinan pemerintah yang menjaga investasi. Nah, produktivitas terkait insentif juga, termasuk nilai insentif, atau hal-hal lain yang bisa membuat investasi ke energi terbarukan menjadi lebih menarik,” kata Rosan.
Kombinasi energi terbarukan diperkirakan menghemat biaya sampai 10 miliar dollar AS dalam 10 tahun ke depan. Namun, sumber energi terbarukan dari bayu atau surya dikenal tak stabil pasokan listriknya. Dengan alasan itu, penetrasi energi terbarukan masih lambat dan pembangkit listrik berbahan bakar batubara lebih diandalkan (Kompas, 26/2/2019). (FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)