Kementerian Perhubungan kembali menyosialisasikan aturan terbaru mengenai taksi dalam jaringan. Kali ini adalah Peraturan Menteri Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus atau taksi daring.
Aturan keempat yang dibuat Kemenhub ini bukan melengkapi aturan sebelumnya, melainkan menggantikan aturan yang sebelumnya. Sebab, aturan lama dibatalkan Mahkamah Agung.
Taksi daring merupakan hal baru yang muncul akibat perkembangan industri digital. Serbuan teknologi membuat pemerintah berusaha mengikuti dengan cepat meskipun dengan sedikit tergagap-gagap. Apalagi aturan ini muncul setelah taksi daring meluas di masyarakat.
Merujuk pada pendapat ahli hukum tata negara Refly Harun, aturan yang dibuat setelah kondisi merebak di masyarakat mempunyai dua opsi, yakni aturan yang bersifat represif atau aturan yang bersifat negosiasi. Aturan represif tentu tidak bisa ditawar masyarakat. Alat negara akan menjaga agar aturan itu diterapkan.
Sementara aturan yang bersifat negosiasi membutuhkan proses yang lama dan panjang dalam penyusunannya karena harus mendengarkan kepentingan banyak pihak.
Dalam membuat aturan taksi daring, pemerintah mengambil opsi negosiasi. Akan tetapi, kendati sudah bernegosiasi, aturan yang dibuat tetap dibawa masyarakat ke MA untuk diuji materi. Sebelum Peraturan Menteri (PM) Nomor 118 Tahun 2018 terbit, sudah ada PM No 32/2016, PM No 26/2017, dan PM No 108/2017.
Pada PM No 108/2017, ada 23 hal yang dibatalkan MA, antara lain kuota, tarif, jumlah kendaraan yang harus dimiliki, dan kir. Masalah kir, misalnya, tidak dituntut untuk diselenggarakan. Namun, kendaraan harus tetap mengikuti perawatan berkala sesuai peraturan dari pabrik. Dengan demikian, kendaraan akan tetap laik jalan sehingga menjamin keselamatan penumpang dan pengemudi. Untuk jumlah kendaraan yang harus dimiliki, tidak lagi dibatasi demi mengakomodasi usaha kecil dan menengah.
Longgarkan aturan
Pemerintah telah bekerja keras sekaligus melonggarkan aturan taksi daring. Sebab, bagaimanapun, taksi daring mesti diatur. Sebab, taksi daring sama dengan moda transportasi lain, yakni angkutan umum, yang harus menjamin keselamatan penumpang dan pengemudi. Apalagi, pengemudi dan penyedia aplikasi mendapat keuntungan ekonomi dari kegiatan itu.
Jika masih ada pihak yang menolak, mestinya pemerintah bisa membuat aturan dengan melibatkan penyedia aplikasi. Kesepakatan dengan penyedia layanan aplikasi mungkin bisa lebih mudah.
Mungkin, kita semua mesti sedikit menoleh ke penyedia aplikasi pada jasa keuangan. Mereka patuh pada Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia selaku regulator. Sebab, aturan juga dibuat demi melindungi konsumen.