Masyarakat dari berbagai kalangan menandatangani deklarasi bertajuk Bali Bebas Perdagangan Daging Anjing, di Denpasar, Bali, Jumat (1/3/2019). Perdagangan daging anjing rentan memberi citra buruk bagi Bali sebagai destinasi pariwisata sekaligus berdampak pada upaya pemberantasan rabies.
Oleh
Cokorda Yudistira
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS - Masyarakat dari berbagai kalangan menandatangani deklarasi "Bali Bebas Perdagangan Daging Anjing", di Denpasar, Jumat (1/3/2019). Perdagangan daging anjing rentan memberi citra buruk bagi Bali sebagai destinasi pariwisata internasional sekaligus menghambat upaya pemberantasan rabies.
Penandatangan ini menjadi bagian dari rangkaian seminar bertajuk “Sosialisasi Kerangka Hukum Kesejahteraan Hewan Dalam Upaya Mengakhiri Perdagangan Daging Anjing di Bali”. Acara ini digelar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali bersama Murdoch University Australia, dan lembaga swadaya masyarakat global di bidang perlindungan hewan, Animals International.
Hasil penelitian Maria M Vernandes Sasadara dan Ni Putu Vidia Tiara Timur yang didukung Animals International tentang karakterisasi perdagangan daging anjing di Bali menunjukkan, jual beli daging anjing masih berlangsung di Bali. Data dari pemerintah dan laporan masyarakat hingga Februari 2019, perdagangan daging anjing ditemukan di Kota Denpasar. Praktek serupa ada di Kabupaten Badung, Jembrana, Buleleng, dan Kabupaten Karangasem
Sasadara mengatakan, kini 44 pedagang daging anjing di Bali sudah tutup. Namun, sebanyak 31 pedagang lainnya masih beroperasi. Alasannya, permintaan daging anjing masih tinggi.
“Omset pedagang besar mencapai Rp 1,5 juta per hari. Mereka menjual daging dari dua sampai lima ekor anjing,” kata Sasadara.
Daging anjing masih dikonsumsi karena diduga memberikan manfaat kesehatan. Namun, Sasadara menyatakan kepercayaan itu hingga kini belum ada kajian ilmiah yang pasti.
“Membunuh anjing dengan racun justru berpotensi menyisakan residu racun dalam daging. Selain itu, proses pengolahan daging anjing yang tidak higienis juga berpotensi memicu penyakit,” ujar Sasadara.
Chief Executive Officer Animals International Australia Glenys Oogjes menyatakan, seminar bertujuan mensosialisasikan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia terkait kesejahteraan hewan, termasuk aturan pengawasan perdagangan daging anjing.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner di Kementerian Pertanian Syamsul Ma’arif mengatakan, pemerintah sudah menerbitkan regulasi tentang pengawasan peredaran atau perdagangan daging anjing. Dia mengatakan, daging anjing tidak termasuk kategori pangan karena bukan produk peternakan atau kehutanan bila mengacu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
"Dari sisi keamanan pangan, daging anjing dari daerah endemis rabies meningkatkan risiko terpapar penyakit," kata dia.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali I Wayan Mardiana mengungkapkan, masyarakat Bali memanfaatkan anjing sebagai binatang peliharaan dan hewan penjaga. Dalam sastra Hindu di Bali, menurut Mardiana, anjing disebut sebagai hewan setia yang mendampingi Yudistira menuju surga.
“Dalam ritual di Bali, anjing juga digunakan sebagai korban suci. Melihat filosofi itu, seharusnya tidak ada konsumsi daging anjing di Bali,” ujar Mardiana.
Mardiana juga menyatakan Bali masih belum tuntas menangani kasus rabies. Sebanyak 105 desa di Bali masih dikategorikan rawan karena masih ditemukan kasus rabies. Oleh karena itu, menurut Mardiana, peredaran dan perdagangan daging anjing dapat berdampak terhadap upaya percepatan pemberantasan rabies di Bali selain dapat mencederai citra pariwisata Bali.
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara mengungkapkan, perdagangan daging anjing dan penyakit rabies dapat mempengaruhi keberlangsungan industri pariwisata Bali. Antara juga menyoroti keberadaan anjing liar yang menjadi masalah lain di Bali.
Pemerintah Provinsi Bali sudah membuat imbauan mengenai pengawasan dan penertiban peredaran daging anjing melalui Surat Edaran Gubernur Bali tentang perdagangan daging anjing pada 2017. Dalam seminar juga mengemuka perlunya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan aparatur penegak hukum mengenai kesejahteraan hewan, termasuk pengawasan peredaran dan perdagangan daging anjing.
Lebih lanjut Antara menyatakan, penertiban peredaran dan pelarangan perdagangan daging anjing akan efektif apabila Bali memiliki peraturan daerah yang melarang peredaran dan perdagangan daging anjing. “Peraturan daerah akan menjadi payung hukum dan memberikan dasar hukum untuk menindak dan mengakhiri masalah perdagangan daging anjing,” ujar Antara.