Mewujudkan Keadilan Bagi Korban, Memperbaiki Kualitas Anak Bangsa
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak-anak di Tanah Air bukanlah mitos. Karena faktanya, setiap hari terjadi kekerasan seksual di masyarakat. Bahkan pelaku terbanyak adalah keluarga terdekat yang seharusnya melindungi perempuan dan anak.
Temuan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) selama tahun 2013-2017 terdapat 28.019 kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak-anak, baik terjadi di ranah privat maupun komunitas (publik). Sebanyak 15.068 kasus kekerasan seksual terjadi di dalam rumah tangga (relasi personal). Sebanyak 12.951 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas (publik).
Bahkan, Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2018 menyebutkan dari 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan dan diterima Komnas Perempuan dan mitra layanan, sebanyak 2.979 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual. Dan yang paling mengejutkan, kasus kekerasan seksual yang paling banyak dilaporkan (1.210 kasus) terjadi di ranah privat atau kasus inses (pelakunya orang terdekat yang memiliki hubungan keluarga), diikuti perkosaan, persetubuhan/eksploitasi seksual.
“Kekerasan seksual menjadi darurat, tidak sekadar angka. Karena, selama ini layanan terhadap korban kekerasan seksual tidak cukup memadai. Dari sekian banyaknya kasus, hanya sekitar 10 persen yang diadukan kepada kepolisian. Yang masuk ke persidangan hanya sekitar lima persen, dan yang divonis dengan hukuman mungkin hanya dua sampai tiga persen,” kata Sri Nurherwati, komisioner Komnas Perempuan, Jumat (22/2/2019), saat menjadi pembicara dalam Media Talk ”Menyikapi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual” di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Kondisi tersebut terjadi karena persepsi tentang kekerasan seksual di tengah masyarakat Indonesia masih sangat lemah. Kekerasan seksual selalu dilihat dari aspek norma kesusilaan, dan yang dilindungi adalah kesusilaan, dampaknya antara korban diperlakukan sama. Ketika berhadapan dengan hukum, korban-korban kekerasan seksual terutama perempuan, bukannya dilindungi tetapi justru direviktimisasi (mengalami kekerasan kembali).
Persepsi tentang kekerasan seksual di tengah masyarakat Indonesia masih sangat lemah. Kekerasan seksual selalu dilihat dari aspek norma kesusilaan, dan yang dilindungi adalah kesusilaan, dampaknya antara korban diperlakukan sama.
Sementara negara dinilai tidak cukup optimal merespons kekerasan seksual sehingga korban tidak terlindungi. Padahal kalau tidak terlindungi, korban tidak akan bisa melewati masa pemulihan. Dan, kalau korban tidak melalui pemulihan dia akan terus menerus mengalami trauma.
Korban dipandang sebagai pihak bersalah atas peristiwa kekerasan seksual yang menimpa dirinya. Tak hanya sulit mendapat keadilan, trauma panjang bahkan seumur hidup akan dihadapi seorang perempuan korban perkosaan yang mengandung dan melahirkan anak korban perkosaan. Tidak mudah perempuan korban hidup di tengah masyarakat, karena korban dianggap membawa aib.
Sementara korban kekerasan seksual yang paling banyak adalah perempuan yang berpotensi hamil dan melahirkan anak. “Bisa dibayangkan bagaimana kualitas hidup seorang ibu yang dalam kondisi trauma. Apa yang bisa dilakukan untuk memajukan bangsa ini?" ujar Nurherwati.
Eni Gustiana, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan menyatakan tidak hanya dampak kesehatan fisik, pengalaman selama ini korban kekerasan seksual juga mengalami trauma yang berkali-kali ketika kasusnya dibawa ke proses hukum. “Ada anak remaja korban kekerasan seksual tidak boleh lepas dari pengawasan karena sangat trauma, sampai-sampai harus dipegang orang karena dia terus menarik-narik bajunya dan merasa jijik dengan dirinya sendiri. Sampai enam bulan rasanya enggak hilang,” ujar Eni.
Pengalaman-pengalaman perempuan korban kekerasan seksual itulah yang menjadi basis ketika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diajukan sebagai usul inisiatif DPR. Harapannya, selain mewujudkan keadilan bagi korban kekerasan seksual dan melindungi perempuan dari ancaman kekerasan seksual, RUU tersebut akan memperbaiki kualitas hidup perempuan.
Perubahan paradigma
Karena itu, seharusnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dipandang sebagai sebuah langkah besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menjadi bagian untuk melakukan perubahan paradigma masyarakat, agar tidak lagi melakukan kekerasan seksual dalam bentuk apapun.
“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan berpihak pada korban, akan melindungi perempuan dan anak. Perempuan adalah ibu bangsa yang harus melahirkan anak-anak, generasi yang bermutu, yang harus dari sekarang kita lindungi,” ujar Deputi Perlindungan Hak dan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Vennetia R Danes.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan berpihak pada korban, akan melindungi perempuan dan anak. Perempuan adalah ibu bangsa yang harus melahirkan anak-anak, generasi yang bermutu, yang harus dari sekarang kita lindungi.
Vennetia mengungkapkan, pada tahun 2018 data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Anak (Simponi PPA) terdapat 7,200 korban kekerasan seksual. Jumlah itu di luar data dari Komnas Perempuan dan lembaga lain. Korban kebanyakan adalah perempuan.
“Kami akan terus mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sampai disahkan menjadi UU pada Agustus nanti,” ujar Vennetia seraya menegaskan hingga kini ada 11 kementerian/lembaga yang terlibat dalam proses RUU tersebut yang dipimpin oleh Kementerian PPPA terus berkoordinasi.
Selain menjadi bagian dari bentuk tanggung jawab negara terhadap warga negara untuk bebas dari ancaman dari berbagai kekerasan seksual, RUU tersebut diharapkan memutus diskriminasi terhadap perempuan karena mencegah kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan seksual (termasuk rehabilitasi), memulihkan korban, serta meletakkan kewajiban negara dalam penghapusan kekerasan seksual.
Terlepas pro dan kontra atas RUU tersebut, dukungan seluruh masyarakat untuk mewujudkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi sangat penting. Sebab, tidak hanya perempuan, tetapi melindungi setiap orang tanpa kecuali (perempuan, laki-laki, orang dengan disabilitas, anak di bawah umur, dan kelompok rentan lainnya) dari berbagai kekerasan seksual.