JAKARTA, KOMPAS – Umat Katolik sebagai bagian dari bangsa Indonesia diajak untuk ikut merawat dan mengupayakan kehidupan demokrasi yang rasional, sehat, dan bermartabat, jelang Pemilu 2019. Hal itu bisa diwujudkan melalui kampanye yang bersih tanpa mengumbar kebencian dan menyebar berita bohong, serta menolak ajakan golongan putih atau golput.
Hal itu merupakan seruan moral yang dikeluarkan oleh Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk Pemilu 2019 pada Jumat (1/3/2019) di Jakarta. Seruan ditandatangani oleh Ketua Komisi Kerasulan Awam KWI Monsinyur Vincentius Sensi Potokota dan Sekretaris KWI RD PC Siswantoko.
Umat Katolik diminta bersikap aktif dalam membangun komunikasi dan kerja sama dengan kelompok atau umat beragama lain. Sebab, pesta demokrasi ini menjadi tanggung jawab seluruh warga masyarakat Indonesia.
"Umat Katolik diharapkan ikut menciptakan suasana aman dan damai, sebelum, pada saat, dan sesudah pemilu berlangsung dengan tidak terprovokasi oleh berbagai ajakan, ajaran, dan tawaran yang mengarah pada munculnya konflik, perpecahan, dan kekerasan dalam masyarakat," kata Vincentius, dalam seruan tersebut.
Tidak hanya itu, umat Katolik juga diajak untuk menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2019. Sebab, jika ada umat Katolik yang lebih memilih golongan putih/golput berarti dia membiarkan bangsa ini dikuasai oleh siapapun, termasuk orang-orang yang ingin merongrong Pancasila dan meruntuhkan negeri ini.
"Sebagai warga Gereja dan warga negara yang baik, 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia, sudah selayaknya umat Katolik, khususnya orang muda Katolik yang akan menjadi pemilih pemula, memberikan suaranya dalam pemilu ini," ujar Vincentius.
Sejumlah masukan juga diberikan kepada para pemilih, para kandidat Pemilu 2019, serta penyelenggara dan pengawas pemilu.
Sebagai pemilih, masyarakat harus mempunyai informasi yang cukup terkait kandidat yang akan dipillih dan partai politiknya. Pemilih harus meluangkan waktu ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suara, mencoblos kartu suara secara benar, dan ikut mengawasi penghitungan suara. Yang paling utama adalah pemilih harus menolak politik uang.
"Memilih kandidat yang berani menolak segala bentuk radikalisme dan intoleransi. Memilih kandidat yang dapat memperjuangkan kepentingan umum dan tidak mempolitisasi agama dan suku," tulisnya.
Masukan juga diberikan kepada para kandidat dalam Pemilu 2019, baik calon presiden-calon wakil presiden, calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah.
Sebagai kandidat, mereka diajak untuk berkampanye bersih tanpa mengumbar kebencian dan menyebar berita bohong. Selain itu, mereka juga harus mempunyai komitmen memperjuangkan kepentingan umum dan mempunyai wawasan ke-Indonesia-an yang memadai dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang saat ini masih ada.
"Kandidat harus setia terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, juga bersih dari cacat hukum dan moral," tulisnya.
Penyelenggara dan pengawas pemilu juga diajak untuk memahami dan melaksanakan secara konsisten undang-undang pemilu serta aturan yang berlaku. Institusi-institusi yang terlibat dalam Pemilu tersebut harus mampu bekerja secara profesional dan netral.
"Kuncinya, melayani masyarakat, kandidat dan partai politik secara baik. Memberikan informasi yang cukup dan akurat kepada masyarakat terkait dengan pemilu. Tidak lupa pula, menegakkan kode etik penyelenggara pemilu secara konsisten," kata Vincentius