Komitmen Pemerintah Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca Masih Lemah
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia perlu mendorong percepatan arah kebijakan dalam mendukung transformasi penggunaan energi konvesional menuju energi terbarukan. Komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca saat ini masih lemah. Jika tidak ada perubahan masif, target penurunan emisi karbon seperti yang disepakati dalam Kesepakatan Paris sulit tercapai.
Pada Dokumen Niatan Kontribusi Nasional (NDC) pertama, Indonesia menjanjikan penurunan emisi pada 2030 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan sampai 41 persen melalui kerja sama internasional. Pengurangan emisi itu dilakukan melalui lima sektor utama, yaitu sektor hutan dan lahan (17,2 persen), energi (11 persen), limbah (0,38 persen), proses industri/IPPU (0,10 persen), serta pertanian (0,32 persen).
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo, Jumat (1/3/2019) di Jakarta, menilai, besarnya ambisi penurunan emisi yang ditargetkan pemerintah belum sesuai dengan implementasinya. Upaya yang dilakukan masih terbatas dan tidak ada sinergi yang kuat antarsektor pada skala nasional.
“Ambisi pemerintah saat ini untuk transformasi ke energi terbarukan masih setengah hati dan tidak serius. Kebijakan yang berlaku masih mempersulit pelaku untuk mengembangkan penggunaan energi terbarukan. Total produksi PLN untuk penerapan energi terbarukan juga malah menurun,” ujar Max dalam acara Seminar Energi yang diadakan LIPI di Jakarta, Jumat.
Untuk itu, menurut Max, butuh revolusi dalam penggunaan energi agar dalam jangka panjang bisa mengubah pola perilaku masyarakat agar menggunakan energi terbarukan. Pertama, pemerintah diharapkan bisa memberikan investasi yang besar dalam pengembangan sistem jaringan listrik cerdas (smart grid).
Sistem tersebut menggunakan teknologi yang bisa menghubungkan kegiatan pembangkitan sampai distribusi listrik secara efisien antarkota hingga antarpulau.
Kedua, perubahan untuk beralih menggunakan alat transportasi listrik. Pemerintah bisa memberikan insentif pada masyarakat yang mau menggunakan kendaraan listrik. Sistem perbankan pun bisa didorong untuk mempermudah pemberian kredit untuk pembelian kendaraan listrik.
“Dorongan infrastruktur untuk kendaraan listrik tidak hanya membantu mengurangi emisi tetapi juga lebih hemat dari penggunaan bahan bakar minyak. Penelitian kami menunjukkan, penggunaan kendaraan listrik dibanding kendaraan berbahan bakar pertalite bisa lebih irit sampai 80 persen,” kata Max.
Selain itu, cara ketiga yaitu efisiensi energi, terutama untuk sektor industri. Teknologi terbaru bisa diterapkan dalam proses industri agar energi yang dikeluarkan bisa lebih efisien. Banyak potensi lain yang juga bisa dimanfaatkan untuk menciptakan energi terbarukan, seperti tenaga surya, bayu, panas bumi, dan hidro.
Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Agus Eko Nugroho menambahkan, kebijakan energi yang ada saat ini juga belum sinkron. Pemerintah masih belum mau meninggalkan penggunaan energi tidak terbarukan seperti batu bara, namun di lain sisi, pemerintah telah berkomitmen mendukung pengembangan energi terbarukan.
“Dunia sudah berubah menuju energi terbarukan. Untuk itu, arah pembangunan kita sudah harus diprioritaskan menuju pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Peneliti dari Kyoto University Jepang, Akihisa Mori, mengatakan, pembangunan berkelanjutan yang mendukung emisi rendah karbon sangat dipengaruhi oleh dukungan politik dan dukungan pasar di suatu wilayah. Tanpa dukungan dari dua aspek tersebut, perubahan menuju pembangunan rendah karbon sulit dilakukan.