Ladang Garam Terancam
Alih fungsi lahan untuk kawasan industri di Cirebon tak hanya menggusur lahan, tetapi juga ribuan orang yang bergantung pada produksi garam.
CIREBON, KOMPAS Lahan sentra garam nasional di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, bakal berkurang seiring penetapan kawasan industri di daerah itu. Hal ini memengaruhi target swasembada garam nasional tahun 2020.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2018-2038, pemerintah daerah menyiapkan 10.000 hektar lahan untuk kawasan industri. Jumlah itu melonjak dibanding Perda Kabupaten Cirebon No 17/2011 tentang RTRW 2011-2031 yang menetapkan kawasan industri 2.000 ha.
Kebijakan itu rentan menyusutkan luas garapan petani. Dalam RTRW baru, lahan garam ditetapkan 1.624 ha atau hampir setengah dari luas lahan garam saat ini, 3.000 ha. Tahun 2015, lahan garam 3.858 ha, terluas di antara 25.830 ha lahan garam nasional. Daerah itu tersebar di Kecamatan Kapetakan, Suranenggala, Gunung Jati, Mundu, Pangenan, Astanajapura, Gebang, dan Losari.
”Kami baru saja hendak menata dan mengembangkan garam, tetapi Pemkab Cirebon malah menetapkan daerah ini sebagai kawasan industri,” ujar Rosidi (44), petani garam di Desa Tawangsari, Kecamatan Losari, Minggu (24/2/2019). Ia pionir produksi garam di sana.
Losari adalah satu dari 16 kecamatan yang daerahnya jadi kawasan industri baru. Luas lahan yang direncanakan untuk industri di Losari 2.000 ha.
Usaha garam modalnya relatif kecil, tetapi menguntungkan saat harga bagus. Rosidi mencontohkan, untuk mengolah lahan pertama kali dari tambak biasa menjadi garam, butuh biaya Rp 10 juta dengan luas 1,4 ha. Pengolahan lahan selanjutnya lebih murah, sekitar Rp 2,5 juta per ha.
”Dari 1,4 hektar, hasil panen bisa 90 ton garam. Dengan harga Rp 1.000 per kg, saya bisa meraup Rp 90 juta. Nantinya dibagi dengan dua petani penggarap lahan,” ujarnya. Ia bisa mendapat untung bersih Rp 35 juta per empat bulan setelah dipotong modal produksi.
Tokoh petani garam Losari, Tasnan (60), mengatakan, dengan asumsi 1 ha digarap dua petani, saat ini ada sekitar 6.000 petani garam. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, terdapat 5.306 rumah tangga petani garam pada tahun 2017.
Dampak sosial
Jika lahan garam menyusut hingga jadi 1.624 ha berdasar RTRW saat ini, menurut Tasnan, jumlah petani penggarap berkurang dua kali lipat. Buruh pengangkut garam yang bekerja saat panen juga terdampak.
”Alih fungsi lahan rentan mematikan mata pencarian petani garam dan sektor lainnya,” ucapnya. Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama Kabupaten Cirebon Ridwan mengatakan, menyusutnya lahan garam berbanding terbalik dengan target swasembada garam 2020. Apalagi, impor garam untuk keperluan industri kian meningkat.
Tahun lalu, kuota impor 3,7 juta ton. Jumlah itu melonjak dibanding impor pada 2016 sebanyak 2,1 juta ton dan 1,9 juta ton tahun 2015. ”Seharusnya pemerintah fokus meningkatkan kualitas dan kuantitas garam dengan teknologi jika ingin swasembada garam,” ujarnya.
Tahun lalu, produksi garam di Cirebon 483.000 ton atau hampir sepertiga target produksi nasional, 1,5 juta ton.
Menurut Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Uus Sudrajat, kawasan industri dibutuhkan agar perekonomian Cirebon tumbuh mengatasi pengangguran.
Tingkat pengangguran terbuka di Cirebon sebesar 9,61 persen pada 2017, di atas tingkat pengangguran terbuka Jabar 8,22 persen. (WIN/IKI)