YOGYAKARTA, KOMPAS—Mahasiswa harus menjadi agen dalam menyampaikan kebenaran di tengah ramainya hoaks dan ujaran kebencian. Dengan segala kecakapannya, mereka diharapkan tidak terpengaruh kabar bohong bermotif politik yang disebarluaskan hanya demi kepentingan elektoral. Rasionalitas dan daya pikir kritis hendaknya diutamakan dalam menentukan pilihan politik masing-masing.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik bertajuk “Suara Kita Menentukan Masa Depan Bangsa” di Universitas Gadjah Mada, di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (1/3/2019).
“Situasi memang agak memanas. Kami harapkan mahasiswa menjadi agen yang menyebarkan informasi yang benar. Kalau ada informasi yang memecah belah dari kandidat (peserta pemilu) manapun jangan langsung disebarkan. Wajib membaca secara utuh,” kata Kepala Sub Direktorat Informasi Politik dan Pemerintahan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Hypolitus Layanan.
Hypolitus menyampaikan, jangan sampai masyarakat terpecah belah hanya karena informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perdebatan politik yang terkesan sengit itu belum tentu sama sengitnya di kalangan para elit politiknya. Terkadang situasi masyarakat justru lebih panas dibandingkan perdebatan dari para elit politik tersebut.
Politik sesaat
“Jangan sampai pesta demokrasi ini, karena keperluan politik sesaat, bisa terjadi permusuhan di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Jangan mudah terprovokasi, jangan mudah terpancing isu yang menyebabkan kebencian di antara kita. Itu yang harus kita hindari,” kata Hypolitus.
Hal serupa disampaikan oleh Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Arie Sujito. Menurut dia, mahasiswa tidak boleh mudah termakan oleh hoaks yang memecah belah. Mereka mempunyai nalar kritis yang harus digunakan untuk menangkal kabar-kabar yang tidak jelas kebenarannya.
“Mahasiswa punya kecerdasan dan hati yang jernih. Tidak ada gunanya mahasiswa itu ikut-ikutan terjebak hoaks. Jangan sampai dapat kabar sedikit langsung marah-marah. Pemilu ini harus dinikmati dengan bahagia. Mahasiswa harus jadi pionir memerangi hoaks dan memerangi fitnah,” kata Arie.
Mahasiswa punya kecerdasan dan hati yang jernih. Tidak ada gunanya mahasiswa itu ikut-ikutan terjebak hoaks. Jangan sampai dapat kabar sedikit langsung marah-marah. Pemilu ini harus dinikmati dengan bahagia. Mahasiswa harus jadi pionir memerangi hoaks dan memerangi fitnah
Arie menambahkan, mahasiswa hendaknya selalu memverifikasi berita atau informasi yang diterimanya. Kemudahan mengakses informasi bisa membantu mereka untuk mengecek kebenaran dari informasi yang simpang siur. Para calon yang nantinya akan mereka pilih juga perlu untuk dilihat rekam jejaknya agar mereka memilih secara rasional dalam pemilu nanti.
“Masyarakat harus memikirkan dan mendengar para kandidat. Lihat track record-nya, lalu lacak semuanya untuk menjadikan pertimbangan dalam pilihan,” kata Arie.
Ketua Komisi Pemilihan Umum DIY Hamdan Kurniawan menyatakan hal serupa. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus menjadi pemilih yang berkualitas. Artinya, setiap dukungan politik yang diberikannya itu diambil secara sadar, tanpa ada pengaruh sentimen emosional maupun sogokan uang.
“Semua harus menjadi pemilih yang berkualitas. Mencari informasi (tentang para kandidat) yang cukup. Mulai dari rekam jejak hingga visi misi. Jadi, nanti di bilik suara pilihan yang rasional, bukan hasil dari sentimen pribadi atau politik uang,” kata Hamdan.
Hamdan menambahkan, KPU DIY terus mendorong partisipasi mahasiswa dalam pemilu nanti dengan membuka posko pemilu di berbagai universitas. Posko tersebut dibuat untuk memudahkan pengurusan pindah lokasi pemilihan bagi mahasiswa yang berasal dari luar Pulau Jawa.