JAKARTA, KOMPAS - Nilai dan budaya demokrasi lokal ideal untuk dipelajari kembali serta dipergunakan dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia. Hal ini sebagian di antaranya untuk mengatasi relatif tertatih-tatihnya praktik berdemokrasi di Indonesia selama sekitar 20 tahun terakhir.
Demikian sebagian hal yang mengemuka dalam Deklarasi dan Diskusi Publik Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) yang bertema "Pemilu Jujur dan Adil untuk Indonesia Berkemajuan," di Aula Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019).
Sebagian pembicara yang hadir dalam kesempatan tersebut adalah Ketua Umum Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah Prof. Aidul Fitriciada Azhari, Profesor Riset bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia R Siti Zuhro, Ketua KPU Arief Budiman, dan Ketua Bidang Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia Muhidin Junaidi.
Aidul, dalam paparannya mengatakan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, bangsa Indonesia seolah mengalami disorientasi dalam bernegara. Hal ini terutama dalam kaitannya dengan program-program pembangunan yang cenderung tidak berkesinambungan.
Selain itu, polarisasi di tengah masyarakat juga cenderung makin besar. “Tidak ada lagi permusyaratan, yang ada adalah pertarungan,” kata Aidul.
Praktik politik yang saling meniadakan itu, imbuh Aidul, menjadi keprihatinan pihaknya dengan sebagian di antaranya bertumpu pada hal-hal prosedural semata. Padahal, imbuh Aidul, yang dikehendaki bukanlah praktik demokrasi prosedural melainkan hal-hal yang lebih substansial seperti keadilan sosial.
“Bukan (mengenai) siapa yang menang pemilu,” ujar Aidul.
Praktik Lokal
Pada bagian selanjutnya, Aidul menyoroti ihwal praktik demokrasi di tingkatan lokal. Pada sejumlah daerah, kata Aidul, terdapat praktik ketatanegaraan yang juga menggunakan sistem perwakilan serta lembaga legislatif dengan corak budaya dan kearifan lokal.
Ia mencontohkan, hal itu misalnya seperti terjadi di sebagian wilayah Sulawesi. Praktiknya terjadi dengan sejumlah putusan adat yang terlebih dahulu mesti dimusyawarahkan dalam "lembaga legislatif” dalam struktur pemerintahan adat tersebut.
Contoh lain, imbuh Aidul, adalah sumber konstitusi dan sistem tata negara Malaysia yang bersumber dari adat Katumanggungan (Datuak Katumanggungan) dan adat Parpatih (Datuak Parpatiah Nan Sabatang) di Sumatera Barat. “Betapa ironisnya, negara tetangga kita mengambil kita punya kekayaan,” ujar Aidul.
Karena itulah, dalam kesempatan itu, Aidul mendorong agar fakultas hukum pada sejumlah universitas di bawah naungan Muhammadiyah bisa melakukan riset demokrasi dan hukum tata negara lokal. Selanjutnya, temuan studi ini diharapkan bisa direkonstruksi ke tingkat nasional.
Tertatih-Tatih
Sementara menurut Siti Zuhro, selama sekitar 20 tahun terakhir, praktik berdemokrasi di Indonesia cenderung berjalan dengan tertatih-tatih. Dalam pandangan Zuhro, hal itu dikarenakan modalitas sebagai bangsa yang cenderung diabaikan.
“Lupa Pancasila dan lupa budaya sendiri,” sebut Zuhro. Hal yang lantas dilakukan, adalah dengan mengikuti sistem demokrasi universal.
Konteks makro Indonesia sebagai negara kepulauan, cenderung dilupakan. Zuhro menyebut kondisi ini sebagai hal yang cenderung tidak menguntungkan karena lupa mengacu pada Pancasila dan hal-hal yang melandasi nilai-nilai budaya sendiri.
Zuhro menyampaikan, dalam sekitar 20 tahun terakhir, nilai positif dalam berbangsa juga cenderung tidak terbangun. “Apalagi (jika dikaitkan dengan) trust building. Kemana trust building,” ujarnya setengah bertanya.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.