PATI, KOMPAS — Masuknya garam impor 35.000 ton ke gudang pengolahan garam di Desa Langenharjo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dinilai menyalahi izin yang diberikan Pemerintah Kabupaten Pati. Izin yang diberikan kepada perusahaan ialah pengolahan garam lokal.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Pati Sugiyono, Jumat (1/3/2019), saat dihubungi di Pati, mengatakan, garam impor yang didatangkan oleh CV Anugrah Sinar laut (ASL) itu tidak sesuai dengan perizinan. ”Secara umum, sebagai investor, CV ASL sudah sesuai prosedur mendapat izin pengolahan garam lokal di Pati. Hanya saja, ketika izin sudah diberikan, mereka mendatangkan garam impor. Itulah yang menjadi masalah,” ujarnya.
Saat ini, instansi terkait tengah melakukan pengkajian ulang atas prosedur pendirian pabrik pengolahan garam itu. Sugiono menegaskan, izin usaha pengolahan memang dikeluarkan kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pati. Itu sesuai dengan status CV ASL sebagai investor pada sektor pengolahan garam lokal dengan nilai investasi usaha Rp 102 miliar. Izin usaha awal diterbitkan pertengahan 2017 dengan volume pengolahan 3.050 ton per tahun.
Namun, ketika pabrik pengolahan belum berdiri, CV ASL sudah mengajukan izin perluasan usaha dari 3.050 ton per tahun menjadi 200.000 ton per tahun. Izin akhirnya diterbitkan sejauh komitmen pihak pengusaha untuk fokus pengolahan garam lokal.
”Ternyata setelah izin perluasan usaha diberikan, pihak pengusaha justru mendatangkan garam impor 35.000 ton. Hal itu tentu menyalahi ketentuan,” kata Sugiyono. Dia menuturkan, sesuai instruksi Bupati Pati Haryanto, peninjauan ulang atas izin itu sedang dalam proses.
Setelah tindakan garam impor 35.000 ton itu, pihak Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pati juga telah mencabut izin lama, kemudian menerbitkan izin usaha baru dengan intensitas lebih kecil, yakni hanya diizinkan mengolah garam sekitar 30.000 ton per tahun. Volume ini jauh lebih kecil daripada sebelumnya, 200.000 ton.
Gelombang protes atas masuknya garam impor ke Pati terus bermunculan. Ketua Kelompok Tani Garam Mentari Jaya Juwana Rifai (49) menyatakan, pemerintah kabupaten sebaiknya tidak mudah mengeluarkan izin pengolahan garam kepada investor dari luar Pati. Petani garam merasa kecolongan dengan masuknya garam impor yang jika tidak diawasi ketat peruntukannya bisa disalahgunakan.
Sebagai kelompok tani yang membawahkan petani garam di 20 desa, produksi garam lokal di Pati saat ini semakin tinggi. Produksi garam berkisar 380 ton-400 ton per tahun. Di Pati juga sudah dilengkapi gudang garam nasional dengan kapasitas 1.000 ton. ”Sejak perusahaan pengolah garam di Juwana beroperasi, mereka belum pernah membeli garam dari petani di Pati,” ujar Rifai.
Ternyata setelah izin perluasan usaha diberikan, pihak pengusaha justru mendatangkan garam impor 35.000 ton. Hal itu tentu menyalahi ketentuan.
Pabrik pengolahan CV ASL di Desa Langenharjo, Pati, itu terletak di tepi jalan provinsi Tayu-Juwana. Lokasinya berada di tengah permukiman dan areal persawahan padi. Dari luar pagar pabrik terlihat timbunan garam impor setinggi 10 meter ditutupi kain terpal biru. Sejauh ini, pihak pengusaha CV ASL belum dapat diminta penjelasan terkait dengan masuknya garam impor.
Ketua Dewan Pengawas Koperasi Petani Garam Mutiara Laut Mandiri di Juwana Mamik Trimurti mengatakan, pihaknya bersama sejumlah perwakilan kelompok tani garam di Demak, Jepara, dan Rembang sudah mengajukan keberatan atas masuknya garam impor di Pati. Mereka menuntut izin usaha pengolahan itu dicabut dan garam impor yang masih tersedia dikeluarkan dari Pati.
Saat ini, petani garam lokal di pesisir pantura timur Jateng sedang bangkit seiring kian banyaknya petani memanfaatkan teknologi geomembran untuk pengolahan garam di tambak. Teknologi itu mempercepat panen dan meningkatkan kualitas garam.
Mereka menuntut izin usaha pengolahan itu dicabut dan garam impor yang masih tersedia dikeluarkan dari Pati.
Semestinya akhir Februari merupakan saat tepat bagi petani melepas garamnya ke pasaran. Masih di musim hujan, harga garam dipastikan tinggi mengingat tidak banyak ladang tambak digarap untuk pengolahan garam.
”Harga di pasaran ternyata tidak seperti dugaan. Sebenarnya bisa di atas Rp 1.200 per kilogram untuk garam kualitas I, kini malah anjlok hanya Rp 700 per kilogram,” ujar Mamik.
Dugaan rembesan garam impor dari gudang penimbunan di Juwana juga disampaikan Ketua Kelompok Tani Garam Wedung Kabupaten Demak Musa Abdillah. Ia mengatakan, dari laporan petani yang pernah masuk ke pabrik itu, pengolahan garam tidak jelas peruntukannya. Terlebih instalasi pengolahan garam juga belum dibangun.
Menurut Musa, garam itu sebatas dikemas dalam plastik. Tanpa pengawasan ketat, garam impor yang merembes ke pasaran bisa memicu anjloknya harga garam lokal. Padahal, diperkirakan stok garam petani yang siap edar di Demak, Pati, dan Rembang saja mencapai 1.000 ton. Itu adalah hasil panen 2017-2018.
Secara terpisah, Bupati Pati Haryanto menyesalkan masuknya garam impor ke Pati. Menurut dia, wilayah Pati dan sekitarnya merupakan sentra penghasil garam.
”Mengimpor garam adalah hak pengusaha karena kebutuhan garam industri yang masih kurang, sedangkan garam lokal terbatas. Tetapi, sebaiknya garam impor jangan masuk Pati. Saya siap mengawal petani-petani garam agar proses usaha pengolahan garam tetap menggunakan bahan baku lokal,” ujarnya.