JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan pemodelan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Jakarta memiliki risiko tsunami yang rendah. Namun, hasil itu tidak bisa membuat warga Ibu Kota terlena mengingat risiko akibat jenis bencana lainnya besar, salah satunya gempa bumi.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, lembaganya saat ini sudah menghasilkan sekitar 18.000 model skenario tsunami di seluruh Indonesia. Sebagian digunakan untuk mengukur potensi risiko bagi Jakarta.
Salah satu pemicu gempa yang bisa memberi efek bagi Jakarta adalah megathrust di selatan Selat Sunda, yang berdasarkan kajian bisa menimbulkan gempa bermagnitudo 8,7. ”Jika terjadi gempa M 8,7 yang bersumber dari Selat Sunda, tinggi tsunami di perairan utara Jakarta hanya puluhan sentimeter,” ucap Rahmat di sela-sela gelar wicara #Ecotalk ”Amankah Jakarta dari Tsunami”, Kamis (28/2/2019), di Ancol, Jakarta Utara.
Meski demikian, pemodelan belum akan selesai. BMKG belum memiliki model skenario tsunami yang dipicu longsoran bawah laut serta erupsi gunung api sehingga BMKG akan terus menyempurnakan pemodelan. Tsunami di pesisir Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018, misalnya, dipicu oleh longsoran bawah laut akibat aktivitas gunung berapi, Anak Krakatau.
Pada sisi lain, lanjut Rahmat, terdapat peneliti yang menduga ada pemicu gempa di Laut Cina Selatan. Jika gempa terjadi, bukan tidak mungkin akan timbul tsunami yang dapat mencapai Jakarta. Namun, dugaan itu masih dikaji lebih lanjut.
Aplikasi InaRISK pun memetakan area Ancol sebagai daerah dengan risiko tsunami rendah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengembangkan aplikasi itu untuk membantu masyarakat mengetahui tingkat bahaya akibat bencana di suatu wilayah disertai rekomendasi aksi agar tetap aman dan selamat.
Walaupun berisiko rendah terempas tsunami, warga Jakarta tidak boleh menurunkan kewaspadaan karena masih ada kerawanan akibat bencana lainnya, termasuk gempa bumi. Jakarta berpotensi ikut terguncang oleh gempa yang berasal dari zona megathrust di selatan Jawa Barat dan selatan Selat Sunda. Sesar Cimandiri, Lembang, dan Baribis juga bisa menimbulkan gempa yang mengguncang Ibu Kota. Dari riwayatnya, Jakarta pernah mengalami gempa kuat hingga menyebabkan kerusakan pada 5 Januari 1699, 22 Januari 1780, dan 10 Oktober 1834.
Pakar paleoseismologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Eko Yulianto, menyebutkan, Jakarta, seperti halnya kota-kota besar lain di Indonesia, berada di dataran pantai yang berisi endapan muda. Sifat tanahnya relatif lunak. ”Jangan-jangan kalau kita tidak hati-hati membangun rumah, kasusnya seperti saat gempa di Bantul (DI Yogyakarta),” ujarnya.
Pada 27 Mei 2006, gempa tektonik M 5,9 (yang menurut Eko tidak terlalu besar) mengguncang DIY dan sebagian Jawa Tengah. Gempa yang berpusat di perairan Kabupaten Bantul itu mengakibatkan kerusakan berat pada 206.504 rumah di DIY dan 99.730 rumah di Jawa Tengah. Karakteristik tanah di Bantul mirip dengan Jakarta.
Karena itu, membangun rumah dengan struktur tahan gempa di Jakarta merupakan kebutuhan. Namun, biaya yang besar kerap menjadi ganjalan. Eko berpendapat, hal itu bisa disiasati dengan hanya membangun satu ruang aman gempa yang cukup untuk semua anggota keluarga dalam satu rumah.
Eko mencontohkan, kamar mandi bisa dijadikan ruang aman dengan membuatnya berkonstruksi tahan gempa sehingga biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan harus membuat semua bagian rumah tahan gempa. Jika gempa melanda, anggota keluarga sudah tahu bahwa mereka harus mengevakuasi diri ke kamar mandi yang terjamin tidak roboh.
Jika masih kesulitan dana, ruang aman bisa dibuat dari meja makan yang diperkuat dengan rangka besi sehingga tidak rusak meski tertimpa material saat gempa. Anggota keluarga berlindung di bawahnya. Dalam kondisi normal, meja berfungsi layaknya meja makan biasa.
Suprayoga Hadi dari Kedeputian Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas berpendapat, sebelum menyasar pengurangan risiko bencana pada warga, pemerintah daerah semestinya membereskan dulu persoalan tata ruang. Jika bangunan berada di zona yang sesuai, ancaman terhadap keselamatan warga bakal rendah saat bencana melanda.