JAKARTA, KOMPAS – Regulasi pemilu yang tertuang di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dinilai sarat dengan masalah. Ini membuat penyelenggara pemilu kesulitan untuk bisa mengimplementasikan sejumlah aturan di dalamnya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dalam diskusi bertajuk “Pemilu Jujur dan Adil untuk Indonesia Berkemajuan” yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah, di Jakarta, Jumat (1/3/2019), menyampaikan, regulasi pemilu sebenarnya sangat vital dalam mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.
Regulasi juga penting karena menjadi dasar bagi setiap tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, peserta, hingga pemilih.
Namun dia melihat regulasi pemilu yang tertuang di UU 7/2017 belum bisa mewujudkan seluruh kepentingan tersebut.
“Banyak pihak menyatakan bahwa UU tersebut sempurna, tetapi semakin hari kami melihat semakin banyak pasal yang implementasinya susah, rumit, dan bertentangan antara satu pasal dengan pasal lainnya,” katanya.
Dia mencontohkan, soal pemenuhan surat suara untuk daftar pemilih tambahan (DPTb) atau disebut juga pemilih pindahan.
Permasalahan ini terjadi karena banyaknya jumlah pemilih pindahan yang terkonsentrasi di tempat tertentu dengan jumlah ratusan hingga ribuan pemilih. Mereka merupakan kelompok pelajar atau mahasiswa, narapidana di lembaga permasyarakatan (lapas), dan pekerja perusahaan perkebunan atau pertambangan.
Namun, KPU tidak bisa mencetak surat suara kembali karena tidak diatur dalam UU Pemilu. UU Pemilu hanya mengatur pencetakan surat suara sesuai dengan daftar pemilih tetap (DPT) ditambah 2 persen untuk surat suara cadangan.
Selain itu, dalam UU Pemilu masih banyak pasal yang bertentangan atau ditafsirkan berbeda, seperti Pasal 515 dan Pasal 523. Kedua pasal tersebut menerangkan tentang ketentuan pidana bagi para peserta pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran politik uang. Tetapi, kedua pasal tersebut tidak menyebutkan secara tegas definisi maupun bentuk pelanggaran politik uang.
Buruknya kualitas juga membuat UU Pemilu paling banyak diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan laporan tahunan MK, sepanjang 2018, UU Pemilu diuji 21 kali atau terbanyak dibandingkan peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaedi menilai, hal itu bisa terjadi karena penyusunan UU Pemilu sarat dengan kepentingan politik sehingga memperburuk kualitas UU tersebut. Selain itu, banyak pasal di UU Pemilu yang mengabaikan amanat konstitusi dan tidak mencerminkan kepentingan publik.
Untuk diketahui, draf regulasi pemilu diserahkan pemerintah ke DPR, pada 21 Oktober 2016. Kemudian DPR bersama pemerintah membahas dan menuntaskannya dalam waktu sekitar sembilan bulan. Persisnya pada 21 Juli 2017, draf itu disetujui untuk disahkan menjadi UU Pemilu dalam Rapat Paripurna DPR.
Komponen lain
Selain regulasi, Arief Budiman mengingatkan peran penyelenggara, peserta, dan pemilih juga sangat penting dalam mewujudkan pemilu yang bersih, jujur dan adil. Peran penyelenggara pemilu untuk memastikan pemilu berjalan dengan jujur dan adil ditentukan lewat anggota yang berintegritas.
Sementara peserta pemilu mulai dari partai politik, calon anggota legislatif, hingga calon presiden-wakil presiden, perlu memberikan pendidikan politik yang baik kepada pemilih.
Kemudian pemilih juga perlu memahami hak konstitusionalnya dengan memberikan suara dan mengetahui rekam jejak setiap calon yang dipilihnya.
Peneliti senior politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, penyelenggara pemilu merupakan komponen yang paling disorot masyarakat saat ini. Oleh karena itu, baik KPU maupun Bawaslu harus benar-benar dikawal.
“KPU dan Bawaslu harus benar-benar profesional karena kenyataan masyarakat saat ini terbelah dalam dua kubu. Jangan sampai pemilu kita tercederai. Sebab, pemilu serentak ini merupakan pondasi untuk menjalankan pemilu seri berikutnya yang jauh lebih kompleks,” ujarnya.