Risiko Pekerja Bertambah
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja usia muda rentan terhadap risiko kesehatan dan keselamatan kerja. Selain literasi yang rendah, para pekerja usia muda umumnya tidak mengetahui cara menangani masalah kesehatan dan keselamatan kerja.
Risiko kesehatan dan keselamatan kerja (K3) semakin kompleks ketika pekerja muda masuk ke pasar kerja yang kini tengah bertransformasi mengikuti tren teknologi digital.
”Tren teknologi digital tidak hanya mengubah pola bekerja, tetapi juga melahirkan jenis-jenis profesi baru. Risiko K3 berkembang, dari hanya sekadar bahaya fisik, biologis, dan kimia, bertambah dengan psikologis sosial. Hal ini sudah terjadi, tetapi isu itu dan kesehatan mental belum banyak diakui pasar tenaga kerja,” ujar National Project Officer SafeYouth@Work Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta Abdul Hakim di sela-sela diskusi ”Pekerjaan Masa Depan, Dampaknya bagi Kaum Muda, dan K3”, Kamis (28/2/2019), di Jakarta.
Topik itu dipilih ILO bertepatan dengan peringatan 100 tahun ILO.
Abdul menyebutkan, angkatan kerja muda berusia mulai 15 tahun. Pekerja berusia 15-24 tahun umumnya baru lulus sekolah menengah sehingga tingkat pemahaman perihal dirinya sendiri belum matang. Memasuki 25 tahun, mereka mulai memahami konsep dirinya.
Tren teknologi digital tidak hanya mengubah pola bekerja, tetapi juga melahirkan jenis-jenis profesi baru.
Kasus K3 di Indonesia, ujar Abdul, belum memiliki rangkuman data resmi. Kebanyakan data yang disampaikan pemerintah mengacu pada klaim program jaminan sosial kecelakaan kerja.
Sebenarnya kasus psikososial di tempat kerja sudah disinggung pemerintah, antara lain melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235 Tahun 2003.
”Pada jangka panjang, kami mendorong K3 menjadi perhatian serius pemerintah. Selain berupa kebijakan, harus ada data resmi seperti terangkum dalam Survei Angkatan Kerja Nasional,” kata Abdul.
Diperhatikan
Spesialis K3 di proyek SafeYouth@Work ILO Geneva, Valentin Offenloch, menekankan, tenaga kerja harus menjadi pusat perhatian meskipun adopsi teknologi digital untuk kegiatan industri semakin besar.
ILO menyarankan, dalam setiap dialog tripartit untuk menyikapi perubahan akibat teknologi digital, isu tenaga kerja dimasukkan dalam perumusan kebijakan pemerintah.
Pada 22 Januari 2019, ILO merilis laporan Global Commission on the Future of Work: Work for Brighter Future. Dalam laporan ini, ILO menyebutkan tiga investasi yang harus diperhatikan negara, yakni investasi kemampuan manusia, lembaga kerja, serta pekerjaan layak dan berkelanjutan.
Menurut studi Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2018, hampir 50 persen perusahaan di dunia memperkirakan, otomasi membuat tenaga kerja penuh mereka berkurang pada 2022.
Berinvestasi pada kemampuan manusia berarti menitikberatkan pada angkatan kerja usia muda dan isu K3.
Valentin mencontohkan beberapa bentuk investasi, yaitu pembelajaran jangka panjang, keterampilan, dan dukungan bagi mereka yang mengalami masa transisi dalam berbagai tahapan kehidupan kerja.
”Pemberian keterampilan harus bersifat jangka panjang. Artinya, selalu ada pengulangan dan peningkatan keterampilan kerja,” ujarnya.
Pemberian keterampilan harus bersifat jangka panjang.
Pelaksana Harian Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Wisnu Pramono mengatakan, Presiden Joko Widodo telah menetapkan agenda nasional pembangunan sumber daya manusia. Agenda ini disiapkan untuk menyikapi era Industri 4.0. Salah satu fokusnya ialah meningkatkan keterampilan kerja.
Melek digital
Bernard Satiadi (22), wirausaha produk kesehatan, mengatakan, sebagai bagian dari generasi milenial, ia merasa lebih senang dan bebas menjadi wirausaha daripada bekerja di perusahaan. ”Dengan menjadi wirausaha yang mayoritas pemasarannya melalui platform digital, saya merasa ini dunia saya,” katanya.
Di sektor agrobisnis, sejumlah pelaku usaha menggunakan teknologi digital untuk mengupayakan modernisasi.
CEO Tanijoy, Muhammad Nanda Putra, yang ditemui seusai diskusi ”Roadmap of Agrotech in Indonesia”, mengatakan, selama setahun terakhir, Tanijoy membina 2.000 petani di Jawa dan Sumatera agar melek digital.
Tanijoy adalah perusahaan rintisan teknologi finansial di bidang investasi yang menghubungkan petani dengan akses permodalan. Petani binaan berlatar belakang petani hortikultura dan kentang.
”Ada sekitar 1.200 investor individu berpartisipasi dalam platform Tanijoy. Untuk menjaga agar investasi yang digelontorkan maksimal, tim Tanijoy membina cara bertani secara lebih modern. Kultur mengelola lahan pertanian diubah dari perkiraan menjadi berdasarkan data,” ujarnya.
Nanda menambahkan, Tanijoy juga menjadi penghubung petani dengan pedagang. Cara ini memotong rantai distribusi yang kerap kali melibatkan tengkulak atau distributor.