Suap Panitera Pengadilan, Eddy Sindoro Dituntut Lima Tahun Penjara
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eddy Sindoro, mantan petinggi konglomerasi besar di Indonesia, dituntut pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan. Eddy diyakini bersalah atas kasus dugaan suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Tuntutan tersebut disampaikan jaksa penuntut umum pada sidang lanjutan perkara Eddy Sindoro, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (1/3/2019). Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Hariono.
“Menuntut, pertama, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Kedua, menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan,” kata Jaksa Abdul Basir.
Jaksa menyebut, tindakan Eddy yang tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, merusak citra pengadilan, dan sikapnya yang tidak kooperatif dalam proses penyidikan, merupakan hal-hal yang memberatkan terdakwa. Adapun yang meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum.
Kasus ini bermula saat Eddy Sindoro memberikan suap sebesar Rp 150 juta dan 50.000 dollar Amerika Serikat kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Pemberian uang itu terkait perkara hukum yang menimpa dua korporasi, yakni PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan PT Across Asia Limited (AAL). Kedua perusahaan itu diyakini masih berafiliasi dengan salah satu jaringan konglomerasi besar di Indonesia.
Penundaan aanmaning
Perkara hukum korporasi itu berkaitan dengan putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) pada 2013, yang menyatakan, MTP wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar 11,1 juta dollar Amerika Serikat.
Terhadap putusan SIAC, MTP tak kunjung melaksanakan kewajibannya, sehingga PT Kmyco mendaftarkan putusan itu di PN Jakarta Pusat agar perkara dapat dieksekusi di Indonesia.
Menindaklanjuti hal itu, PN Jakarta Pusat melakukan pemanggilan aanmaning (peringatan) kepada MTP, 1 September 2015. Namun dipanggil berulang kali, perwakilan MTP tidak juga hadir.
Mengetahui pemanggilan MTP, Eddy memerintahkan stafnya untuk mengupayakan penundaan aanmaning. Edy Nasution disebut bersedia menunda proses aanmaning dengan imbalan Rp 100 juta yang disetujui oleh Eddy. Uang itu pun diserahkan melalui perantara, Doddy Aryanto Supeno.
Suap PK Perkara
Adapun AAL dinyatakan pailit oleh putusan kasasi Mahkamah Agung pada tahun 2013. Namun, sampai masa waktu yang ditentukan, AAL tidak segera mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
Lagi-lagi, Eddy meminta stafnya untuk mengupayakan pengajuan PK dan melakukan pengecekan di PN Jakarta Pusat pada tahun 2016. Staf Eddy pun kembali menghubungi Edy Nasution agar menerima pengajuan PK yang sebenarnya sudah melewati masa tenggat itu.
Edy Nasution bersedia melakukannya dan meminta imbalan Rp 500 juta. Kemudian Eddy menyetujuinya. Melalui pengacara perusahaan itu, Edy Nasution menerima 50.000 dollar Amerika Serikat. Permohonan PK AAL pun didaftarkan dan langsung diurus Edy hingga sampai proses di Mahkamah Agung.
Jaksa menilai, perbuatan Eddy melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Atas tuntutan tersebut, Eddy dan kuasa hukumnya mengajukan nota pembelaan atau pledoi. Hakim menyetujuinya dan sidang akan dilanjutkan pada 4 Maret 2019. (MELATI MEWANGI)