Transparansi Dorong Perkembangan Industri Teknologi Finansial Pembiayaan
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Otoritas Jasa Keuangan diingatkan untuk meningkatkan pengawasan kepada perusahaan teknologi finansial peminjaman antarpihak atau peer-to-peerlending. Ini dapat dilakukan dengan membuka informasi perusahaan tekfin kepada publik. Di sisi lain, pertumbuhan industri ini juga harus didukung sehingga jangkauan kredit bisa lebih luas.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda, Jumat (1/3/2019), mengatakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memperketat pengawasan terhadap teknologi finansial (tekfin) peminjaman antarpihak. Melalui Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), informasi perusahaan tekfin perlu dibuka untuk publik dan investor.
“Bisnis tekfin adalah bisnis valuasi yang berdasarkan kepercayaan. Investor menanamkan modalnya karena jumlah pengunduh aplikasi tekfin dan peminjamnya besar. Ketika tekfin ini bermasalah di masyarakat (menagih secara tak beretika), tentunya investor tidak akan masuk dan perusahaan tekfin itu akan mati. Jadi, informasi aktivitas perusahaan tekfin, yang legal ataupun ilegal, harus dibuka bagi masyarakat dan investor,” kata Nailul.
Perbankan pun mulai merambah industri tekfin peminjaman antarpihak dengan menjadi investor atau menjadikan tekfin sebagai mitra distribusi obligasi ritel. Investree, misalnya, mendapatkan dana dari Bank Mandiri, BCA, dan Amar Bank. Menurut Nailul, keterbukaan informasi sangat diperlukan untuk mencegah rusaknya kepercayaan investor maupun pada industri tekfin peminjaman antarpihak.
Nailul menambahkan, industri tekfin sangat diminati dan terus berkembang. Berdasarkan data OJK per 3 Februari 2019, akumulasi jumlah pinjaman tekfin pinjaman antarpihak sampai dengan Januari 2019 mencapai Rp 25,92 triliun, meningkat 14,36 persen dari periode yang sama tahun lalu. Adapun jumlah pinjaman sepanjang Januari 2019 saja mencapai Rp 5,7 triliun.
Jumlah total peminjam mencapai 5,16 juta rekening, meningkat 18,37 persen dari tahun lalu. Jumlah pemberi pinjaman mencapai 267.496 rekening. Rata-rata nilai pinjaman tiap rekening Rp 86,79 juta.
Saat ini terdapat 99 perusahaan tekfin pinjaman antarpihak yang telah resmi diakui OJK. Dari jumlah tersebut 69 perusahaan berasal dari dalam negeri dan 30 lainnya merupakan penanaman modal asing. Sementara itu, Satuan Tugas Waspada Investasi OJK baru saja menutup 635 aplikasi tekfin peminjaman yang tak terdaftar sebagai anggota AFPI pada Februari lalu.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima lebih dari 3.000 laporan dari masyarakat yang menjadi korban rentenir digital. Menurut Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Ibnu Chaldun, Ahmad Iskandar, banyaknya jumlah korban diakibatkan oleh sifat pinjaman yang cenderung konsumtif. Padahal, literasi keuangan masyarakat rendah.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, pengawasan terhadap perusahaan tekfin pinjaman antarpihak berbeda dengan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan konvensional seperti bank, asuransi, dan lembaga pembiayaan. Pengawasan terhadap jasa keuangan konvensional bersifat prudential dengan memerhatikan unsur-unsur seperti tingkat likuiditas, performa pinjaman, serta besar keuntungan atau kerugiannya.
Sebaliknya, pengawasan terhadap tekfin pinjaman antarpihak berfokus pada perilaku pelaku pasar dengan code of conduct (CoC). Beberapa hal yang diatur dalam CoC adalah pembatasan bunga pinjaman 0,8 persen per hari dengan batas maksimal 90 hari dan jumlah bunga tidak boleh melebihi jumlah pinjaman.
Selain itu, perusahaan tekfin tidak boleh mengakses data pribadi di ponsel peminjam. Pengawasan kepatuhan terhadap CoC dilakukan melalui AFPI.
Menurut Wimboh, meskipun perusahaan tekfin peminjaman antarpihak banyak, jumlah perputaran uang belum terlalu besar sehingga belum perlu diawasi secara prudential
“Jumlah perusahaan tekfin pinjaman antarpihak, kan, banyak sekali. Apalagi ada yang berjalan hari ini, tapi bulan depan sudah mati. Kalau ini semua harus dihitung begitu kan buang-buang waktu juga. Risiko prudential perusahaan tekfin ini belum terlalu besar, jadi yang terpenting itu masyarakat tidak dibohongi,” ujar Wimboh saat berkunjung ke redaksi Kompas, Selasa (26/2/2019).
Di sisi lain, AFPI bersama OJK kini juga sedang mengembangkan pusat data teknologi finansial untuk memantau peminjam nakal. Peminjam yang tak melunasi pinjaman setelah 90 hari akan dicatat sebagai peminjam bermasalah (Kompas, 6 Februari 2019).
Kerja sama
Catatan Indef, rasio penyaluran kredit terhadap produk domestik bruto di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 39,1 persen. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih membutuhkan pembiayaan sekitar 165 miliar dollar AS. Penyaluran kredit melalui bank kepada UMKM pun terhambat karena hanya 49 persen dari populasi Indonesia yang memiliki rekening bank.
Menurut Nailul, peneliti Indef, bank dan tekfin perlu berkolaborasi dengan skema yang sudah ada. Ia mencontohkan, bank bisa menyalurkan dana melalui tekfin selayaknya bank umum kategori usaha (BUKU) 4 kepada bank perkreditan rakyat (BPR).