Wajah Baru di Kontestasi Sengit Wakil Rakyat
Sebanyak 84,8 persen caleg DPR RI pada Pemilu 2019 merupakan wajah baru di tiap daerah pemilihan. Mereka menghadapi tantangan yang sengit dari caleg-caleg wajah lama yang pernah berkompetisi baik pada Pemilu 2009 maupun Pemilu 2014.
Bayangkan jika 415 anggota DPR RI yang kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2019—masih di daerah pemilihan yang sama dengan pemilu terdahulu—meraih kemenangan lagi. Maka, sebagai konsekuensinya, hanya tersisa 160 kursi anggota DPR RI yang diperebutkan 7.553 caleg lain. Masih adakah peluang bagi caleg wajah baru?
Kompetisi memperebutkan kursi wakil rakyat yang ada di Senayan tidak bisa dibilang enteng. Di atas kertas, memang rasio persaingan kursi pada
pemilu tahun ini satu banding 14 atau lebih ringan dari Pemilu 2009 yang mencapai 1 banding 20. Namun, ketimbang rasio persaingan kursi ini, catatan pengalaman kontestasi politik yang dimiliki tiap caleg di daerah pemilihannya menjadi faktor yang lebih menentukan.
Ibarat pertandingan olahraga, rekor bertanding pemain menjadi bahan kalkulasi kemenangan. Dalam pemilu, hal ini menggambarkan penguasaan arena politik oleh peserta pemilu. Pada Pemilu 2019, sebanyak 84,8 persen caleg yang maju ialah wajah baru di tiap daerah pemilihan. Sisanya diisi caleg-caleg yang pernah berkompetisi baik di Pemilu 2009 maupun Pemilu 2014.
Kekuatan caleg wajah lama itu patut diperhitungkan. Dari 1.221 caleg yang setidaknya pernah berkompetisi di salah satu pemilu, baik 2009 maupun 2014, sepertiga di antaranya menduduki kursi anggota DPR RI hingga tahun ini. Sisanya belum pernah menang atau sedikit di antaranya pernah meraih kemenangan pada Pemilu 2009 saja. Kelompok caleg wajah lama ini memberi tantangan besar bagi caleg wajah baru.
Tantangan pertama datang dari caleg petahana. Setidaknya ada dua hal yang menjadi keunggulan caleg petahana, yakni pengalaman dan modal. Pengalaman memenangi suara pemilih di dapilnya menunjukkan penguasaan strategi yang efektif untuk kembali unggul pada pemilu kali ini. Selain itu, selama masa kerjanya, caleg petahana sudah mengumpulkan modal sosial dan ekonomi yang bisa dimanfaatkan untuk memenangi suara pemilih di pemilihan legislatif kali ini.
Apalagi, pada Pemilu 2019, ada 144 caleg petahana yang menduduki kursi DPR RI dalam sepuluh tahun terakhir atau menjabat selama dua periode. Sebagai contoh, Abdul Kadir Karding (PKB, Jawa Tengah 6), Pius Lustrilanang (Gerindra, NTT 1), dan Reni Marlinawati (PPP, Jawa Barat 4). Belum lagi mereka yang memegang jabatan sebagai pimpinan, dengan peluang popularitas tinggi seperti Ketua DPR Bambang Soesatyo (Golkar, Jawa Tengah 7) dan Ketua MPR Zulkifli Hasan (PAN, Lampung 1).
Tantangan kedua muncul dari kelompok caleg wajah lama yang belum pernah menang pemilu. Caleg dengan karakteristik ini berjumlah 726 orang. Sebagian besar adalah caleg yang pernah berkompetisi satu kali, apakah di Pemilu 2009 atau Pemilu 2014, tetapi mereka kalah. Sebagian lainnya bisa disebut ”die hard” karena berkompetisi di dua pemilu tersebut dan kalah. Pada Pemilu 2019, caleg-caleg veteran ini kembali berkompetisi.
Tantangan lain juga muncul dari kelompok caleg yang pernah menang pada Pemilu 2009. Beberapa orang di antaranya menjadikan pemilu tahun ini sebagai upaya ketiganya.
Strategi partai
Strategi bertahan wajar dipilih partai-partai politik papan atas. Tiga parpol teratas, yaitu PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Gerindra, menempatkan kembali caleg petahana di dapil yang sama dengan proporsi terbanyak dibandingkan parpol lain.
Langkah sedikit berbeda diambil Partai Demokrat yang saat ini ada di posisi keempat dengan persentase 11 persen kursi DPR RI. Pada Pemilu 2019, partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono ini mengajukan 6,8 persen caleg petahananya atau lebih kecil dari Partai Nasdem (8 persen). Sebaliknya, Demokrat lebih banyak memberikan peluang untuk caleg berpengalaman, baik yang pernah menang di 2009 maupun belum pernah menang.
Hal ini juga dilakukan partai-partai lain di parlemen. Tampaknya, pengalaman tanding menjadi salah satu kunci pemilihan caleg. Selain memasang nama lama, menarik caleg dari parpol tetangga juga dilakukan untuk menambah jumlah caleg pendulang suara.
Perpindahan kendaraan politik lebih banyak ditemui di kalangan caleg nonpetahana dan menjadi strategi partai baru seperti Partai Berkarya. Setidaknya 41 caleg Partai Berkarya merupakan caleg berpengalaman dari parpol lain. Sementara itu, partai baru lainnya, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), serta Partai Bulan Bintang (PBB), memaksimalkan caleg wajah baru. Porsinya mencapai lebih dari 95 persen dari total caleg yang mereka calonkan.
Bersaing ketat
Dapil Kalimantan Barat 2 menjadi wilayah dengan persentase caleg wajah baru terbanyak dari 80 dapil DPR RI, yakni 96,3 persen. Para pemain baru ini dituntut bersaing memperoleh suara terbanyak dari 1.118.570 pemilih di Kabupaten Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Sekadau, dan Melawi. Dari 54 caleg DPR RI yang terdaftar di daftar calon tetap Pemilu 2019, dua di antaranya petahana.
Keduanya merupakan caleg senior dari dapil induk Kalimantan Barat yang pada pemilu tahun ini dipecah menjadi dua dapil. Dengan modal berkuasa selama dua periode (2009-2014 dan 2014-2019), Lasarus (PDI-P) dan Sukiman (PAN) tampaknya akan menjadi pemain bertahan yang sulit dikalahkan.
Jika hal ini yang terjadi, tinggal dua dari empat kursi DPR RI dari dapil Kalbar 2 yang masih bisa menjadi target kompetisi 52 caleg lainnya. Persaingan perebutan kursi menjadi sangat panas. Apalagi, tren kemenangan PDI-P di Kalimantan Barat dalam dua kali pemilu terakhir meningkat dari 23 persen (2009) menjadi 33 persen (2014). Hasil Pemilu 2014 di dapil induk ini menyisakan peluang bagi Partai Golkar yang meraih 14 persen suara dan Partai Gerindra dengan 10 persen suara sah.
Kalkulasi atas peta petarung dari rekam jejak caleg dalam arena pemilu legislatif di dapil yang sama ini menggambarkan tantangan bagi caleg-caleg wajah baru. Perlawanan serius dari para politisi kawakan selayaknya dijadikan sebagai tantangan oleh caleg baru untuk menerapkan strategi paling efektif guna meraih suara pemilih. Kampanye personal dengan memaksimalkan media sosial dan strategi unik lainnya bisa menjadi alternatif untuk menembus popularitas yang sudah dimiliki caleg lama.
Bagaimanapun, masuknya wajah-wajah baru dalam parlemen menyimpan harapan perbaikan yang lebih besar di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap kinerja wakilnya di parlemen saat ini.