JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha-pengusaha muda Tanah Air mampu mengolah sumber daya alam lokal menjadi produk unggulan hingga dijual di pasar internasional. Selain itu, mereka juga mampu memberdayakan masyarakat setempat.
Pendiri label Bengok Craft, usaha kerajinan tangan dari eceng gondok asal Semarang, Firman Setyaji, mengatakan, tanaman eceng gondok banyak ditemukan di Desa Kesongo, Jawa Tengah. Selama ini, tanaman-tanaman tersebut lebih banyak dipanen untuk diolah di Pekalongan dan Yogyakarta.
”Saya akhirnya mendorong masyarakat setempat untuk mengolah tanaman menjadi kerajinan tangan, seperti gantungan kunci, sandal, dan keranjang, daripada dikirim ke luar daerah dengan harga murah,” kata Aji, di sela Bio Economy Expo di Jakarta, Sabtu (2/3/2019).
Menurut dia, tanaman eceng gondok hanya dihargai Rp 5.000 per kilogram (kg) ketika tidak diolah. Namun, setelah diolah, harga dapat naik empat kali lipat menjadi Rp 20.000 per kg.
Kini, Aji mempekerjakan 15-20 orang untuk memanen eceng gondok hingga membuat kerajinan tangan. Produk-produk tersebut mulai dijual secara daring. Pada Agustus 2019, ia dan teman-teman akan berangkat ke Rusia untuk memamerkan produk olahan eceng gondok.
Pendiri label Timor Moringa, usaha budidaya daun kelor, Meybi Agnesya, menambahkan, dirinya bersama teman-teman di Kupang, Nusa Tenggara Timur, mulai mengembangkan produk olahan daun kelor sejak 2018.
Selama ini, daun kelor atau Moringa oleifera hanya dimanfaatkan sebagai pangan bergizi bagi masyarakat setempat. Namun, belakangan muncul kesadaran bahwa daun kelor tidak hanya dapat diolah menjadi produk pangan sehari-hari. Daun kelor juga dapat diolah menjadi teh, cokelat, dan kue yang bergizi tinggi.
”Kami masih mengurus izin usaha. Namun, wisatawan asing yang datang sering membeli produk kami. Mereka sadar dengan manfaat daun kelor dan daun kelor sulit ditemukan di negara asal mereka,” kata Meybi.
Inovasi anak muda tidak hanya melalui produk olahan. Anak muda juga berkreasi dalam sektor keuangan yang bertujuan untuk memajukan ekonomi kerakyatan.
Pendiri Bersama PT Seva Kreasi Digital (Danalaut) Niko Ariansyah menyampaikan, dirinya bersama rekan mendirikan Danalaut, perusahaan penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi khusus di sektor kelautan.
”Kami fokus untuk mendanai petani dan koperasi yang bergerak di bidang pengembangan rumput laut dan garam. Masih sedikit perusahaan peer to peer lending yang bergerak di bidang ini,” kata Niko.
Menurut dia, petani rumput laut dan garam kerap mengalami masalah pendanaan agar usaha tetap berkelanjutan. Padahal, potensi produk hasil laut bangsa sangat besar mengingat 70 persen wilayah Indonesia adalah laut. Oleh karena itu, Danalaut akan fokus menyalurkan pendanaan dan pembinaan bagi petani rumput laut dan garam, khususnya di wilayah Indonesia timur.
Sejak 2018 hingga memasuki awal 2019, Danalaut telah menyalurkan dana sebesar Rp 2 miliar bagi koperasi dan petani lokal. Pada 2019, Danalaut memiliki target menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 50 miliar.
”Selain penyaluran, kami juga melakukan pembinaan bagi petani. Ketika hasil panen petani terganggu, kami bersama-sama ikut mencari tahu sumber masalah,” ucap Niko.
Melalui Danalaut, lanjutnya, petani rumput laut kini dapat berkontribusi pada ekspor rumput laut. Selain itu, petani garam juga dapat berkembang sehingga diharapkan impor garam dapat berkurang.
Keunggulan kompetitif
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, banyak pengusaha muda Indonesia yang menerapkan prinsip keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Mengutip Michael E Porter dalam Competitive Advantage (1985), keunggulan kompetitif adalah kemampuan pelaku usaha untuk menghasilkan produk yang membuat pasar tetap ingin membeli. Produk yang dihasilkan harus bernilai tinggi dan berbeda.
Sarwono melanjutkan, prinsip ini berbeda dengan yang diterapkan oleh pelaku usaha berskala besar. Pelaku usaha besar pada umumnya menerapkan prinsip keunggulan komparatif (comparative advantage).
Masih mengutip Michael E Porter, keunggulan komparatif adalah kemampuan pelaku usaha untuk menghasilkan produk dengan hasil akhir harga produk yang serendah-rendahnya. Prinsip ini merupakan penentu klasik dalam persaingan global, yaitu negara yang memiliki keunggulan ini akan menjadi pusat produksi global.
Menurut Sarwono, sulit mengubah pola berpikir pelaku usaha berskala besar untuk menerapkan prinsip keunggulan kompetitif. Namun, harapan baru mulai muncul bagi Indonesia karena anak muda mulai menerapkan prinsip keunggulan kompetitif dalam berusaha, bukan keunggulan komparatif.