NEW YORK, JUMAT -- Seperti telah diprediksi, Dewan Keamanan PBB gagal menghasilkan resolusi untuk mengatasi krisis berkepanjangan di Venezuela. Draf resolusi yang diusulkan AS diveto oleh Rusia dan China, sedangkan draf yang diusulkan Rusia tidak mendapat dukungan minimal sembilan suara.
Dalam pemungutan suara, Kamis (28/2/2019) waktu New York, draf usulan AS meraih sembilan suara. Tiga negara menolak, yaitu Rusia, China, Afrika Selatan, sedangkan tiga negara abstain, yaitu Indonesia, Guinea-Ekuatorial, dan Pantai Gading. Namun, Rusia dan China kemudian mengeluarkan veto.
Draf usulan AS menyerukan pemulihan demokrasi yang damai di Venezuela. Washington menyatakan keprihatinan mendalam atas penggunaan kekerasan oleh militer Venezuela terhadap warganya yang mengawal bantuan kemanusiaan internasional.
Sedangkan draf resolusi usulan Rusia hanya didukung empat suara, yaitu Rusia, China, Afrika Selatan, dan Guinea-Ekuatorial. Tujuh negara menolak, dan empat abstain. Namun, seandainya memperoleh sembilan suara pun, usulan Rusia kemungkinan besar akan diveto AS.
Draf resolusi Rusia, antara lain, menyerukan penyelesaian politik secara damai dan menegaskan agar bantuan kemanusiaan dikoordinasikan dengan pihak pemerintah. Draf itu juga menyampaikan keprihatinan bahwa pertemuan DK PBB dieksploitasi sebagai langkah persiapan untuk melakukan intervensi.
Sebelum pemungutan suara, Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia menuduh AS melakukan propaganda memalukan dengan tujuan menjatuhkan pemerintahan Presiden Nicolas Maduro di Venezuela.
Sedangkan Dubes AS untuk PBB Elliott Abrams usai pemungutan suara menyatakan bahwa kini saatnya untuk melakukan transisi demokrasi yang damai. Ia menuduh para penentang draf resolusi dari AS telah "memperpanjang penderitaan warga Venezuela dan melanjutkan perlindungan terhadap Presiden Nicolas Maduro beserta kroninya".
Ini adalah hari yang menyedihkan bagi komunitas internasional, khususnya bagi rakyat Venezuela.
Duta Besar Indonesia untuk PBB Dian Triansyah Djani kecewa bahwa DK PBB tidak berhasil mencapai kesepakatan bersama. Menurut dia, kedua draf resolusi tidak berimbang dan tidak cukup komprehensif serta terlalu politis.
"Ini adalah hari yang menyedihkan bagi komunitas internasional, khususnya bagi rakyat Venezuela. Ini merupakan kegagalan kolektif, kegagalan kita 15 anggota yang berada di meja ini, karena kita semua datang hari ini dengan mengetahui bahwa kita tak akan bisa mencapai konsensus untuk mengadopsi resolusi," kata Djani.
Kepulangan Guaido
Juan Guaido, pejabat presiden yang didukung 50 negara, saat ini berada di Paraguay setelah sebelumnya mengunjungi Brasil untuk menggalang dukungan internasional.
Namun, komunitas internasional mengkhawatirkan bagaimana agar Guaido dapat pulang ke Caracas dengan selamat dan tidak ditahan oleh rezim Maduro yang menganggap Guaido telah keluar dari Venezuela secara ilegal. Ia dituduh melanggar larangan bepergian ke luar negeri.
Penahanan terhadap Guaido dikhawatirkan akan semakin memanaskan situasi di Venezuela. Negeri itu saat ini dilanda hiperinflasi yang luar biasa, kelangkaan pangan dan obat-obatan yang telah menyebabkan tiga juta warga Venezuela atau 10 persen dari populasi, lari dari negaranya.
Dalam wawancara dengan media Kolombia, El Tiempo, Guaido mengatakan bahwa ia melewati jalur rahasia untuk keluar dari Venezuela dengan perjalanan selama 43 jam untuk mencapai perbatasan Kolombia-Venezuela.