Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana 6 tahun penjara dan mencabut hak politik Eni Maulani selama 3 tahun. Ia terbukti menerima suap dan gratifikasi terkait proyek PLTU Riau-1.
JAKARTA, KOMPAS— Hak politik mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih, dicabut selama 3 tahun setelah dirinya selesai menjalani pidana pokoknya, yakni pidana penjara selama 6 tahun.
Hukuman itu dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (1/3/2019), karena Eni terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Majelis hakim yang diketuai oleh Yanto juga menjatuhkan pidana denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan dan memerintahkan Eni untuk membayar uang pengganti Rp 5,08 miliar dan 40.000 dollar Singapura.
Eni menjadi anggota DPR ke-7 yang dicabut hak politiknya oleh pengadilan terhitung sejak 2013. Sebelumnya, ada nama politisi Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, Sutan Bhatoegana, dan I Putu Sudiartana; politisi Partai Amanat Nasional, Andi Taufan Tiro; politisi Partai Kebangkitan Bangsa, Musa Zainuddin; dan politisi Golkar, Setya Novanto.
Nama Novanto pun kembali muncul dalam kasus korupsi PLTU Riau-1 ini. Ia disebut pernah meminta proyek PLTU kepada Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir.
Adapun nama Sofyan disebut terlibat dalam sejumlah pertemuan dengan pengusaha Blackgold Natural Resources, Johannes Budisutrisno Kotjo, yang difasilitasi melalui Eni. Lewat pertemuan tersebut, tercapai kesepakatan penunjukan langsung perusahaan Kotjo.
Ada pula nama mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang juga menjadi terdakwa dalam perkara ini. Idrus Marham disebut ikut serta meminta uang kepada Kotjo bersama Eni.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai perbuatan Eni menjembatani pertemuan hingga menerima suap Rp 4,75 miliar dari Kotjo melanggar tugas fungsi dan kode etik sebagai anggota DPR.
Begitu juga dengan penerimaan gratifikasi sebesar Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura dari sejumlah pengusaha migas, untuk kebutuhan suaminya ikut Pilkada Kabupaten Temanggung, dinilai mencederai amanah sebagai wakil rakyat.
”Untuk itu, pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik perlu dilakukan untuk melindungi masyarakat ke depannya,” kata hakim anggota Anwar.
Permohonan ditolak
Majelis hakim juga tidak mengabulkan permohonan Eni untuk menjadi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatannya. Majelis hakim menilai Eni berperan aktif dalam memfasilitasi pertemuan antara Kotjo dan Sofyan, serta pihak lainnya, demi memuluskan proyek PLTU Riau-1.
”Maka, demikian majelis hakim tidak dapat mengabulkan permohonan sebagai justice collaborator yang dimohonkan terdakwa. Namun, sikap kooperatif dalam memberikan keterangan dan mengembalikan uang kami hargai dan menjadi hal yang meringankan,” kata Anwar.
Atas putusan itu, Jaksa Ronald F Worotikan masih menyatakan pikir-pikir. Sementara Eni dengan suara lirih menyatakan menerima putusan hakim.
”Saya ikhlas menerima semua putusan hakim,” ujar Eni yang seusai sidang langsung bertemu dengan putra sulungnya yang menemaninya sepanjang sidang. (IAN)