Kebinekaan dalam Kuliner
Sejarah kuliner di Indonesia masih jarang didalami. Sedikit orang yang mau menyelami naskah-naskah lama untuk menggali informasi kuliner Nusantara. Hanya segelintir pula akademisi yang mau masuk ke dunia sepi itu.
Di antara mereka yang sedikit itu adalah Fadly Rahman, sejarawan yang juga pengajar di Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad). Ia menekuni ilmu ini karena gelisah melihat studi sejarah masih berkutat pada masalah-masalah besar seputar ekonomi, politik, militer, dan lain-lain.
Dalam perbincangan dengan Kompas pekan lalu di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, ia mengungkapkan banyak hal tentang sejarah kuliner, termasuk bagaimana kebinekaan yang menerbitkan keresahan banyak orang tergambar dalam kuliner Indonesia.
Seberapa penting sebuah bangsa menggali sejarah pangannya?
Hubungan antara identitas bangsa dan kuliner memang kadang tidak langsung. Tetapi, negara-negara yang memiliki basis kuliner bagus dan punya identitas kuat ternyata awalnya mereka menyusun kebutuhan makanan sebagai kebutuhan pokok.
Kita bisa belajar dari mereka yang mengurus makanannya secara baik, seperti Jepang, Korea Selatan, Italia, dan Perancis. Bila kita melihat identitas kuliner sebuah negara yang sangat baik, kita bisa memastikan mereka mengurus makanannya melalui ketahanan pangan terlebih dulu.
Hal ini bisa dilihat di Thailand dengan kualitas beras yang bagus dan bahan-bahan pangan lainnya yang juga diurus secara benar. Mereka mempertahankan kekuatan mereka baik di hulu, yaitu pada produksi pangan, maupun kuliner di hilir. Mereka berpikir strategis dan sinergik mengurus makanan.
Apakah bangsa yang mampu membangun identitas kuliner nasionalnya adalah negara yang maju?
Saya harus mengatakan, indikator kemajuan sebuah negara salah satunya adalah gastronomi atau ilmu tata boga. Negara-negara maju ternyata memiliki kepedulian terhadap gastronomi dan mereka melakukan sentuhan-sentuhan gastronomis.
Kita melihat Jepang pasca-Perang Dunia II, mereka memberangkatkan anak-anak muda untuk belajar di negara-negara yang menjadi kiblat gastronomi, seperti Perancis. Ketika mereka pulang melakukan fusi makanan tradisional dan makanan kelas dunia sehingga derajat makanan itu terangkat.
Contohnya, bento yang semula hanya sekadar kotak makan siang setelah dilakukan fusi dengan sentuhan gastronomi menjadi bisnis waralaba yang sangat menguntungkan. Bento (makanan bekal) menjadi identitas Jepang dari semula sekadar kotak perbekalan.
Bagaimana sumbangan sejarah kuliner itu sendiri ketika sebuah bangsa mengangkat makanan sebagai identitasnya?
Sumbangan ilmu sejarah pangan atau sejarah kuliner sebagai identitas bangsa akan menarik ketika kita mengetahui kuliner itu dibangun. Untuk itu, kita tak bisa melepaskan diri dari para gastronom abad ke-19 ketika mereka sangat terpengaruh gastronomi Perancis.
Kuliner Indonesia sudah mulai dibentuk pada masa kolonial seperti di kawasan lain di Asia dan Afrika. Kuliner Perancis memengaruhi kuliner dunia saat itu atau sudah ada embrionya. Kita perlu memahami fenomena saat itu melalui studi sejarah kuliner.
Bagaimana pengembangan sejarah pangan atau sejarah kuliner menurut Anda?
Kita perlu membangun kolaborasi, membangun hubungan antardisiplin ilmu, entah itu pertanian dengan sejarah, ilmu gizi dengan sejarah, lalu sejarah dengan tata boga. Semua itu akan membangun secara bersama sebuah pusat studi yang menghubungkan berbagai elemen untuk mengkaji sejarah kuliner.
Kajian ke arah sana sudah ada, di media atau di kampus. Di media ada reportase-reportase yang melakukan pendekatan sejarah pangan. Acara di televisi bukan sekadar acara berbagi resep dan juga komentar soal enak atau tidak enak.
Tetapi, kita membutuhkan kolaborasi lebih besar, khususnya dengan pemerintah, karena menempatkan kuliner sebagai identitas bangsa tak bisa dibangun oleh satu atau dua pihak saja. Kita memiliki jejak historis yang sangat kaya kalau kita mau melihat khazanah kuliner Indonesia dan bisa bertahan karena merupakan warisan kultural yang terjaga.
Apa fakta-fakta historis pangan atau kuliner Indonesia yang menarik terkait pembentukan identitas bangsa?
Sumber sejarah pangan atau kuliner entah itu terekam di prasasti atau naskah masa lalu masih sangat sedikit yang digali. Salah satu yang menarik adalah fakta-fakta tradisi kuliner yang disampaikan melalui tradisi lisan. Contohnya, riset para filolog yang melihat betapa kaya khazanah kuliner Jawa, bukan karena ditulis atau direkam dalam naskah, tetapi melalui tradisi lisan. Banyak kata-kata pangan, juga cara memasak diwariskan melalui tradisi lisan.
Apalagi ada ahli yang mengatakan, kajian seperti ini masih berpusat di Jawa. Kajian sejarah kuliner berdasarkan naskah-naskah di luar Jawa masih kurang.
Bagaimana sejarah pangan bisa membantu memperlihatkan bahwa dari pangan kita bisa melihat kebinekaan bangsa ini?
Ini tidak lepas dari ikhtiar Presiden Soekarno ketika mendorong para ahli menerbitkan buku resep makanan Mustika Rasa. Dalam perkembangannya, kita baru sadar kuliner Indonesia merupakan bentukan dari hibrida berbagai kebudayaan setiap bangsa dan suku bangsa.
Unsur-unsur kuliner yang ikonik di Indonesia merupakan kuliner hibrida, seperti soto dan nasi goreng. Meski demikian, kita juga memiliki yang lokal, seperti sambal. Makanan ini memiliki diversitas di berbagai wilayah, tetapi orang tetap menyebutnya sebagai sambal.
Saya memetakan orang- orang yang berkecimpung di dunia kuliner setelah kemerdekaan hingga sekarang. Ada yang tak pernah menyadari bahwa dia melakukan ikhtiar untuk membingkai kuliner Indonesia yang berbineka ini melalui proses kreatifnya.
Saya mengambil contoh Nyonya Rumah atau Ibu Julie Sutarjana. Ia sejak awal kemerdekaan, tepatnya pada periode 1950-an sampai sekarang, tekun mendokumentasikan karyanya, baik sebagai buku resep maupun tulisan di media, tentang kuliner yang memiliki kebinekaan meski, sekali lagi, dia tak menyadari semua ini.
Dia malah bilang bahwa dia menulis resep sekadar hobi saja. Apa yang dilakukannya di majalah Star Weekly dan sekarang di Kompas sebenarnya merajut kebinekaan melalui resep antarwilayah. Siapa pun di berbagai wilayah bisa mencoba resep dan mencicipi makanan dari wilayah yang ada di Indonesia.
Ada juga ibu Suryatini N Ganie yang konsisten dalam mendokumentasikan kuliner Indonesia bahkan dengan membuat majalah boga pertama di Indonesia. Semua ini jadi model buat kita untuk melanjutkan konsistensi mereka. Mereka konsisten merajut makanan sebagai identitas bangsa.
Di dunia pendidikan, bagaimana pengembangan sejarah kuliner?
Sejauh pengetahuan saya, pengembangan pendidikan sejarah kuliner di berbagai strata masih sangat kurang. Kuliner masih dikaitkan sebagai produk makanan saja. Kaitan makanan dengan sejarah dan kebudayaan masih sangat kurang.
Yang diperlukan dalam dunia pendidikan adalah pusat studi di berbagai tempat sehingga orang bisa belajar di situ karena setiap wilayah memiliki khazanah kuliner tersendiri, atau membangun museum pangan sehingga orang tahu identitas kulinernya.
Unpad berani mengusulkan mata kuliah sejarah kuliner, sebetulnya nama yang cocok adalah sejarah pangan karena mencangkup berbagai komponen. Kita masih terjebak kuliner lebih menarik untuk dijadikan telaah atau sebagai bagian dari industri karena memang komodifikasi kuliner ini membuat citra kuliner lebih menarik untuk diangkat.
Dinamika kajian sejarah pangan di Indonesia seperti apa?
Sejarah pangan sudah dimulai Ong Hok Ham seperti makanan kolonial dan juga tempe. Ia mengerjakan tulisan itu sebagai hobi. Kita melihat pemantiknya sudah ada dan bukan lagi sekadar hobi. Kita bisa mempromosikan sejarah kuliner untuk diusulkan ke pemerintah dan elemen terkait dalam membangun kuliner sebagai identitas. Ini sangat elementer dalam membangun basis kuliner sebagai identitas bangsa.
Di kalangan perguruan tinggi, kolega-kolega saya kaget ketika kami merintis studi sejarah kuliner. Mereka bertanya tentang mata kuliah sejarah kuliner itu. Komentar mereka, menarik sekali! Hal ini menjadi pendorong untuk membangun lebih lanjut pusat studi sejarah kuliner.
Jika menjadi pusat studi, kajian sejarah kuliner akan produktif. Banyak negara juga telah membangun pusat studi ini.
FADLY RAHMAN
Lahir: Bogor, 27 November 1981
Profesi: Sejarawan dengan pengutamaan studi sejarah makanan, pengajar di Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran
Pendidikan:
- S-1 Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran (2006)
- S-2 Program Studi Sejarah Universitas Gadjah Mada (2014)
Karya buku:
- Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial, 1870-1942 (Gramedia Pustaka Utama, 2011 & 2016)
- Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, 2016). Buku ini menjadi nomine buku terbaik dunia Gourmand World Cookbook Awards 2018 di Yantai, China, untuk kategori Culinary History.
Kontributor penyusunan buku kuliner, antara lain:
- Indonesian Food (London, Annova Publisher, 2009); karya bersama Koo Siu Ling (gastronom Belanda) dan Paul Freedman (sejarawan makanan Yale University, Amerika Serikat)
- Culture, Cuisine, Cooking: An East Java Peranakan Memoir (Amsterdam, Lecturis Publisher, 2015)