Lorong Waktu
Hari Jumat, 1 Mei 1992, harian Kompas menulis berita berjudul, ”Halalbihalal Meningkatkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa.” Berita itu ditempatkan di halaman muka, yang berarti dianggap penting oleh ruang redaksi.
Acara itu diberi tajuk halalbihalal. Mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alamsjah Ratu Prawiranegara menjadi koordinator. Dalam acara itu, Alamsyah menyatakan dukungan kepada Presiden Soeharto untuk dipilih kembali sebagai Presiden di Sidang Umum MPR 1992. Pemilihan Presiden dilakukan oleh MPR.
Halalbihalal berlangsung di Gedung Graha Purna Yudha. Puluhan bus parkir di halaman Gedung Granada. Acara itu dikenal sebagai ”doa politik” yang diprakarsai Alamsjah. Pada era Orde Baru, belum ada media sosial sehingga ”doa politik Alamsyah” tidak menjadi kontroversi di ruang publik. Pers kala itu juga tidak bersoal karena ancaman represi Orde Baru.
Doa dukungan untuk Presiden Soeharto diperlukan karena pada masa transisi dari Pembangunan Jangka Panjang Tahap I ke Tahap II diperlukan pemimpin yang bisa menjaga kesinambungan sukses Tahap I.
”Sebab, kita tidak mau dihadapkan kepada pendadakan atau membeli kucing dalam karung,” katanya seraya menambahkan, ”Ada 37 organisasi massa yang mendukung doa bersama itu.”
Masih di berita yang sama, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada 28 April 1992 mengeluarkan pernyataan tidak mendukung doa bersama untuk Presiden Soeharto.
”Sikap kami adalah menolak cara yang berkecenderungan memolitisir sejumlah aktivitas dengan tujuan tertentu yang tidak mendidik. Kami akan selalu mendoakan pemimpin bangsa ini dengan ikhlas tanpa publisitas maupun model tanda tangan karena sikap tersebut akan membangun image yang sama dengan memolitisir. Kami ingin ikut mendewasakan kehidupan politik bangsa ini dengan sikap yang rasional, demokratis, terbuka, dan mendidik sesuai dengan norma dalam Pancasila dan UUD 1945,” demikian pernyataan yang ditandatangani Ketua Umum DPP KNPI Tjahjo Kumolo dan Sekjen Bambang Sumedi. Pernyataan KNPI ini terbilang keras dan berani pada waktu itu.
Hari-hari ini, rasanya kita seperti berjalan dalam lorong waktu. Upaya menghidupkan kembali spirit dan perilaku politik Orde Baru muncul di panggung politik. Doa politik muncul di sana-sini. Puisi politik juga muncul. Wacana memberikan ruang kepada para jenderal dalam jabatan sipil pun menggema.
Hutomo Mandala Putra, putra mantan Presiden Soeharto, memimpin Partai Berkarya dan ingin mengembalikan Orde Baru. Prabowo Subianto, mantan menantu Soeharto, kembali ikut berkontestasi dalam Pilpres 17 April 2019. Tidak ada yang salah dalam langkah politik itu. Rakyat yang akan menilai.
Orde Baru berakhir dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Amien Rais, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Sultan Hamengku Buwono X menjadi simbol perjuangan menurunkan Soeharto. Saat itu dikenal dengan Deklarasi Ciganjur. Kini, tokoh Deklarasi Ciganjur pun berbeda posisi. Kembali tidak ada yang salah dalam pilihan politik itu karena dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Hanya kepentingan yang abadi dalam politik.
Dari sisi perilaku politik, tren dukung-mendukung sedang marak. Berbagai alumni perguruan tinggi menyatakan mendukung Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin. Pada saat lain, kelompok alumni lainnya mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Alumni SMA juga ikut dalam deklarasi dukungan. Keterlibatan para terdidik itu penting untuk menjadikan politik lebih rasional, dan bukan lagi emosional.
Gairah deklarasi menjadi sesuatu yang positif. Ekonomi rakyat bergerak, minimal dalam pembuatan spanduk, kaus, atau jaket. Namun, yang tak boleh dilupakan adalah program apa yang ditawarkan capres, ditawarkan caleg kepada publik. Jadi, jangan sekadar deklarasi tanpa narasi. Jangan juga hanya membuat jargon, ”rakyat harus sejahtera, rakyat tidak boleh miskin, atau saya siap jungkir balik untuk rakyat”.
Tidak ada artinya deklarasi jika deklarasi tidak dikonversi menjadi suara di bilik suara pada 17 April 2019.
Jagat media sosial pun lebih ramai. Berbagai template dukungan disediakan untuk memberikan ruang untuk menunjukkan dukungan. Mau ke Jokowi-Ma’ruf atau Prabowo-Sandi, terbuka dipersilakan. Pembelahan virtual terasa, namun sejauh ini pendukung bisa menikmatinya. Menjalani politik dengan penuh kegembiraan. Politik yang asyik.
Yang memprihatinkan, pemasaran hoaks atau kampanye hitam tidak lagi lewat jalan virtual. Tapi, dari pintu ke pintu. Seperti dialami tiga ibu-ibu dari Karawang yang kini berurusan dengan polisi. Yang dipasarkan adalah isu yang sensitif. Tren ini bisa membahayakan.
Dalam konteks yang berbeda, Rizal Mallarangeng dalam buku "Dari Jokowi ke Harari" yang diluncurkan pada Kamis, 28 Februari 2019, menulis, ”Mampukah demokrasi Indonesia bertahan jika masyarakat kita semakin sensitif dengan isu keagamaan, begitu mudah tersulut dan emosi yang meluap?” Rizal meneruskan, ”kompetisi politik memang sering tajam, tetapi harus ada semacam code of honor di lapisan kepemimpinan agar kompetisi tersebut tidak menjadi dog eats dog fight.”
Mudah-mudahan deklarasi jadi pertanda kebangkitan politik rasional dan meningkatnya partisipasi politik. Kegairahan berpolitik diharapkan bisa merespons kelelahan politik, yang ditandai dengan mulai dibangkitkannya isu golput yang bisa mengancam tingkat partisipasi politik. Deklarasi sebagai ekspresi dari partisipasi politik adalah hal positif. Tetapi, harus tetap bisa menahan diri agar jangan sampai terkondisikan untuk terjadinya benturan antar-kelompok pendukung. Tak boleh ada ruang untuk kelompok anti-demokrasi.
Code of honor para elite menjadi penting untuk tetap menjaga suasana. Waktulah yang akan menguji.