Memahami Penyebab Banjir Bili-bili dan Makassar
Jelang akhir Januari 2019 lalu, sebagian wilayah Sulawesi Selatan dilanda banjir bandang besar, salah satu terbesar sejak tahun 1976. Ada 14 daerah yang terdampak banjir bandang yakni, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Maros, Pangkep, Barru, Soppeng, Wajo, Sidrap, Selayar, Sinjai, dan Tana Toraja.
Bencana air bah itu menewaskan setidaknya 78 orang dan beberapa orang hilang. Lebih dari 9.000 jiwa mengungsi, 22.000 unit rumah terendam, serta merusak tempat ibadah, pasar, sekolah, jembatan, dan jalan raya. Lebih dari 10.000 hektar sawah dan 180.000 tambak rusak terendam. Seluruh kerusakan dan kerugian harta benda tersebut menurut BPDB Sulsel, ditaksir mencapai Rp 125 miliar.
Berbagai faktor disinyalir menjadi penyebab terjadinya bencana banjir besar itu. Sejumlah “tertuduh” di antaranya adalah curah hujan yang tinggi, kerusakan daerah hulu sungai, serta sedimentasi di jalur wilayah Sungai Jeneberang dan Bendungan Bili-Bili.
Pada 22 Januari 2019 menjelang banjir, curah hujan di wilayah hulu sekitar Gunung Bawakaraeng mencapai lebih dari 300 milimeter (mm). Angka curah hujan ini sangat tinggi melampaui curah hujan rata-rata per hari di bawah 100 mm. Curah hujan tinggi ini tak mampu diserap tanah karena daerah hulu sudah banyak yang beralih fungsi dan hutannya relatif gundul.
Sungai Jeneberang yang menjadi sumber air Bendungan Bili-Bili mengalami erosi dan kerusakan parah di daerah hulunya sehingga berdampak negatif bagi bendungan yang menampungnya. Erosi dan sedimentasi yang mengendap di sejumlah anak sungai menyebabkan daya dukung sungai mengecil sehingga air melimpas melebihi badan sungai.
Bendungan Bili-Bili yang berfungsi menanggulangi banjirpun tak mampu berkompromi dengan banyaknya volume air yang masuk pada saat bersamaan. Sedimentasi Sungai Jeneberang terbawa masuk ke Bili-Bili sehingga daya dukung teknis pengendali banjir bendungan turut menyusut.
Limpahan air dalam jumlah besar ke Bili-Bili menyebabkan status bendungan berada pada posisi waspada. Tinggi muka air sudah mendekati titik tertinggi elevasi daya tampungnya sehingga berpotensi menjebol tanggul. Pada tanggal 22 Januari 2019, yang merupakan hari terjadinya banjir besar itu, elevasi Bili-bili menyentuh angka 101,87 meter dari batas maksimal elevasi banjir yang direncanakan 103 meter.
Angka elevasi setinggi 101,87 itu adalah angka tertinggi selama Bendungan Bili-bili beroperasi. Rekor elevasi tertinggi terjadi pada tahun 2003-2004, saat itu hujan deras turun sehingga muka air waduk naik hingga 100,3 meter.
Tak pelak, peristiwa pada Januari lalu adalah fenomena yang sangat rawan. Alhasil, pintu bendungan Bili-Bili akhirnya dibuka maksimal agar limpahan air tidak merusak bendungan yang dapat berakibat jauh lebih fatal. Ironisnya, dengan dibukanya pintu waduk ternyata menyebabkan sejumlah tempat mengalami banjir besar, terutama di wilayah Gowa yang berada paling dekat dengan DAS Sungai Jeneberang dan Makassar sebagai daerah hilirnya.
Rusak dari Hulu
Sungai Jeneberang sebagai sungai terpanjang di wilayah Sulawesi Selatan memiliki sejumlah sumber mata air dan anak sungai-anak sungai sebagai penangkap air di lereng Gunung Bawakaraeng. Daerah penyuplai dan tangkapan air di wilayah hulu ini mengalir di sejumlah anak sungai di Kecamatan Tombolopau, Tinggi Moncong, dan Parangloe, Kabupaten Gowa. Mayoritas daerah hulu tersebut mengalami degradasi lingkungan sehingga terjadi sedimentasi.
Degradasi lingkungan hidup yang sangat masif adalah terjadinya erosi dan sedimentasi lahan akibat beralihnya hutan menjadi areal pertanian sayuran. Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1980-an. Daerah sekitar Malino dan Tinggi Moncong yang dahulu kala berupa hutan, lambat-laun bergeser menjadi areal pertanian sayuran.
Sangat dilematis karena sayuran telah menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat di daerah hulu. Produk dari wilayah ini sangat laku di kota Makassar dan dikirim juga keluar daerah seperti di Balikpapan dan Samarinda, Kalimantan Timur. Namun, di sisi lain ternyata menyebabkan erosi dan sedimentasi.
Bukti lain adalah, terjadinya penyusutan areal hutan di sepanjang DAS Jeneberang sejauh sekitar 75 kilometer. Pada tahun 2011 luas hutan di DAS itu masih kisaran 37.000 hektar atau sekitar 47 persen dari luasan awal. Pada tahun 2015, luas hutan sudah makin susut menjadi 11.600 hektar atau tinggal 15-an persen dari luasan semula.
Susutnya lahan hutan ini akibat alih fungsi menjadi sejumlah peruntukan, tetapi mayoritas untuk pertanian. Pergeseran ini berdampak pada lahan yang cenderung kritis karena jenis pertaniannya adalah bertanam sayuran yang cenderung cepat masa produksinya. Lahan terus diolah dan dipupuk agar terus gembur dan subur. Sayangnya, jenis lahan ini relatif rawan erosi bila terkena air hujan. Apalagi, jika dibudidayakan pada lahan yang relatif sangat miring seperti di wilayah hulu Sungai Jeneberang.
Pada tahun 2011, luas lahan kritis di Jeneberang mencapai 34.341 hektar. Selang 4 tahun pada tahun 2015, luas kekritisannya bertambah lagi sekitar 2.000 hektar menjadi 36.285 hektar. Lahan kian rendah produktivitasnya karena unsur hara yang berada di lapisan atas tanah sudah banyak yang tergerus erosi air hujan. Akibatnya, memerlukan pupuk yang jumlahnya kian banyak dan tanah menjadi kian mudah ditumbuhi gulma.
Di sisi lain memunculkan masalah baru, yakni tanah yang tererosi menyebabkan pendangkalan sungai. Pada tahun 2015, jumlah erosi lahan di daerah hulu mencapai 67 ton/hektar/tahun. Tanah yang terkikis ini mengendap di DAS Jeneberang sekitar 26 ton/hektar/tahun. Jadi, dapat dibayangkan betapa tingginya sedimentasi di DAS Jeberang akibat dari alih fungsi lahan tersebut.
Kaldera Runtuh
Beban sungai yang berat akibat degradasi lahan itu kian diperparah dengan adanya fenomena bencana alam berupa runtuhnya kaldera Gunung Bawakaraeng. Berdasarkan laporan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang, pada tahun 2004 terjadi peristiwa runtuhnya dinding kaldera gunung dengan jumlah material sekitar 300 juta meter kubik.
Sekitar 210 juta meter kubik mengalir ke Sungai Jeneberang dan 80 juta meter kubik di antara material yang masuk ke sungai itu terbawa hingga Bendungan Bili-bili. Hal ini tentu saja menyebabkan pendangkalan parah di area waduk karena desain bendungan itu hanya menyediakan tampungan sedimen sekitar 29 juta meter kubik.
Pada akhir tahun 2018, menurut data BBWS Pompengan Jeneberang, sedimentasi di Bili-Bili mencapi 112 juta meter kubik. Angka ini menunjukkan hampir 30 persen dari tampungan maksimal air waduk Bili-Bili yang didesain sebesar 375 juta meter kubik.
Kondisi ini berdampak pada fungsi kontrol Bili-Bili terhadap Sungai Jeneberang kian berkurang dari rencana semula. Bendungan akan cepat terisi air sehingga tinggi muka air akan berpotensi mencapai status waspada yang berarti pintu air waduk harus dibuka. Hal ini tentu saja akan menimbulkan kerawanan bencana banjir di daerah hilir.
Rehabilitasi Hulu
Kondisi kerusakan tersebut perlu segera diantisipasi segera. Bukan tidak mungkin curah hujan ekstrim akan terjadi lagi terutama pada saat musim penghujan, potensi bencana banjir akan terus mengintai. Perbaikan DAS di daerah hulu perlu disegerakan karena wilayah asal muasal air Sungai Jeneberang ini mengalami kerusakan lingkungan yang parah.
Salah satu indikasinya adalah perbedaan debit air sungai yang sangat ekstrim. Pada saat musim kemarau debit air relatif sangat kecil sekali yakni sekitar 5 meter kubik per detik. Namun, pada saat musim hujan debit airnya bisa meningkat hingga ribuan kali. Laporan BBWS Pompengan Jeneberang menunjukkan debit maksimal sungai ini mencapi 2.240 meter kubik per detik. Bisa dibayangkan air yang datang ini memiliki kekuatan arus yang luar biasa besar. Mampu menggerus dan menyapu segala sesuatu yang dilewatinya.
Ironisnya, daerah hulu sungai ke arah lereng Gunung Bawakaraeng ini bisa dikatakan sangat gundul. Relatif sedikit sekali pepohonan di sekitar tebing-tebing sungai sehingga sangat rawan longsor dan menambah material sedimentasi di jalur sungai. Sisa kaldera yang runtuh masih sangat jarang ditumbuhi tanaman sehingga debris-debris material yang tertumpuk sangat berpotensi besar terbawa aliran air ke jalur sungai.
Awal Februari lalu ketika Tim Kompas mendatangi Danau Tanralili, yang merupakan salah satu sumber air Sungai Jeneberang tampak sekali kondisi hulu yang sangat rawan erosi. Sepanjang jalur mulai dari Desa Lengkese, desa terakhir menuju jalur pendakian hingga Danau Tantarlili sejauh sekitar 2,8 kilometer hanya sedikit sekali pepohonan di sana. Sepanjang jalur dapat terlihat dengan jelas betapa gundulnya daerah DAS Sungai Jeneberang.
Jalur pendakian yang berada di bukit di atas sungai sangat rawan erosi. Retakan-retakan tanah terlihat jelas pascahujan ekstrim pada akhir Januari lalu. Longsoran-longsoran besar juga tampak menggunung di jalur sungai Jeneberang. Dapat dipastikan longsoran material itu akan terbawa air sungai saat hujan turun. Akibatnya sebagian material akan terbawa hingga ke Bendungan Bili-Bili sehingga akan menambah sedimentasi di sana.
Kondisi tersebut perlu untuk segera diperbaiki. Salah satunya dengan melakukan rehabilitasi lingkungan. Penanaman pohon di lereng-lereng sungai, debris-debris sisa longsoran kaldera, hingga punggungan gunung yang gundul. Meskipun hasilnya baru dapat terasa pada waktu yang lama di masa mendatang, penanaman pohon ini harus segera dilakukan lebih masif lagi mulai dari sekarang.
Program rehabilitasi yang sudah dilakukan saat ini perlu ditambah intensitasnya dengan melibatkan berbagi kalangan masyarakat. Mulai dari pemerintah, organisasi pecinta alam, LSM, dunia pendidikan, dan swasta sebagiknya digandeng untuk meneyalamtkan DAS Sungai Jenebarang. Selain itu, juga perlu menambah atau memaksimalkan fungsi sabo dam seri untuk menangkap sedimentasi material pasir dan batu sehingga tidak terbawa hingga bendungan.
Para penambang-penambang pasir perlu terus dikontrol dan diingatkan untuk tidak melakukan penambang di sekitar sabo dam atau sand pocket agat tidak mengganggu struktur bangunan penahan aliran sedimen pasir dan bebatuan ini.
Para petani yang sudah melakukan pertanian secara masif di daerah hulu terutama di sekitar anak sungai Malino dan Bontojai juga harus diedukasi. Tumbuhkan kesadaran bagi para petani untuk menjaga lerengan atau terasiring lahan pertaniannya agar tidak mudah longsor. Pemerintah bekerjasama dengan petani untuk melakukan program pertanian yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, bertani dengan sistem tumpang sari.
Di setiap lahan pertanian di budidayakan tanaman-tanaman produksi yang berkayu keras sehingga mampu menahan tanah agar tidak mudah terkikis air. Langkah ini pati memerlukan biaya yang tidak sedikit karena pada saat ini hasil pertanian yang masif itu memberi nilai ekonomi yang relatif tinggi bagi masyarakat setempat. Oleh sebab itu, pemerintah harus meberikan solusi bagi petani yang win-win solution.
Cara-cara tersebut memang tidak mudah, memerlukan waktu cukup lama, serta biaya yang tidak sedikit. Namun, hal itu mau tidak mau harus segera dilakukan. Bertahap secara pelan-pelan dan harus melibatkan banyak kalangan. Bila tidak disegerakan dan justru malah diabaikan, bukan tidak mungkin bencana akan datang lagi dengan tempo yang lebih cepat serta tanpa diduga sebelumnya. (BUDIAWAN SIDIK A/LITBANG KOMPAS)