Revisi Undang-Undang Narkotika Mendesak
JAKARTA, KOMPAS – Badan Narkotika Nasional memusnahkan barang bukti narkotika sebanyak 99,7 kilogram sabu, 9.990 butir ekstasi, dan 118,34 kilogram daun khat di Jakarta, Jumat (1/3/2019). Hal ini menunjukkan Indonesia menjadi pasar potensial bagi sindikat narkoba Internasional. Undang-Undang No 35 semakin mendesak untuk direvisi.
Pemusnahan barang bukti narkoba yang di lakukan di halaman parkir kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), Cawang, Jakarta Timur, menggunakan mesin incinerator. Dari jumlah tersebut, disisihkan sebanyak 94 gram sabu. 10 butir ekstasi dan 140 gram daun khat guna pemeriksaan Iaboratorium dan pembuktian perkara. Dari hasil pemeriksaan diketahui, narkoba jenis ekstasi yang dibawa adalah ekstasi jenis baru.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Heru Winarko mengatakan, dari jenis narkotika yang diamankan BNN, ada 74 jenis zat narkotika baru. Delapan jenis di antaranya belum terdaftar. Pihak BNN masih memproses pengajuan revisi Undang-Undang Narkotika untuk memasukan daftar jenis baru narkotika.
“Narkotika jenis ekstasi, selain mengandung MDMA, juga terdapat kandungan PMA (paramethoxyamphetamine) dan MMA. Salah satu efeknya adalah halusinasi. Ini adalah langkah untuk menyelamatkan dan mencegah bahaya penyalahangunakan narkoba bagi anak bangsa,” kata Heru didampingi Deputi Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal Arman Depari.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan, yang hadir pada pemusnahan barang bukti narkotika di BNN, mengatakan, temuan jenis baru ini cukup mengerikan dan berbahaya. Dia menyatakan, Komisi III DPR mendukung penuh langkah BNN termasuk permintaan untuk merevisi UU Narkotika.
“Kita apresiasi yang tinggi kepada BNN yang di awal tahun 2019 mengungkapkan temuan jenis narkotika baru. Ini mengerikan. Kita dukung juga langkah untuk merevisi UU Narkotika agar kerja BNN lebih lincah dan cepat dalam penanganan di lapangan,” kata Hinca.
Wakil Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Parlindungan Purba juga mendukung penguatan BNN. Menurut Parlindungan, upaya pemberantasan narkoba butuh penanganan komprehensif dan semua pemangku kepentingan juga perlu turut mendukung pemberantasan narkoba, yang kini sudah menembus ke pelosok daerah.
"Jangan lagi ada yang permisif karena narkoba sangat merusak dan bisa menghilangkan beberapa generasi anak bangsa. Jangan sampai Indonesia jadi pasar narkoba internasional," kata Parlindungan.
Hingga akhir 2017, BNN mengungkap lebih dari 46.000 kasus narkoba dengan barang bukti 4,7 ton sabu, lebih dari 151 ton ganja, dan 2,9 juta butir ekstasi. Jumlah barang bukti narkoba jenis sabu yang disita Badan Narkotika Nasional selama 2018 meningkat dibandingkan dengan 2017. Pada Januari-Juni 2018, BNN menyita barang bukti narkoba berupa 1,3 ton sabu, 31 kilogram ganja, dan 217.526 butir ekstasi. Sementara pada 2017, selama setahun, BNN menyita 1,1 ton sabu, 858,6 kilogram ganja, dan 218.212 butir ekstasi.
Pengungkapan kasus besar narkoba tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi sudah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada Juli ini, 44 kg sabu disita di Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Sabu juga sudah merambah ke Sulawesi Tengah ketika 5,1 kg sabu disita di Pelabuhan Dede, Tolitoli. Pada April, 40 kg sabu dan 160.000 butir ekstasi disita di Siak, Riau. Masih pada bulan yang sama, 17,2 kg sabu dan hampir 12.000 butir ekstasi disita di Surabaya, Jawa Timur. Pada Februari, 11 kg sabu disita dalam paket kargo pesawat di Bandara Juwata, Tarakan, Kalimantan Utara.
Barang bukti yang dimusnahkan juga tidak dapat dianggap enteng. Pada Mei 2018, BNN dan Polri memusnahkan sebanyak 2.647 ton sabu hasil sitaan BNN dan Polri. Sementara pada periode Juni-Juli 2018, BNN memusnahkan barang bukti 2,2 kg sabu, 24.819 butir pil ekstasi, 37,4 liter prekursor cair, 6,1 kg prekursor berbentuk serbuk, dan 201,7 kg ganja.
Jenis baru
Tahun 2018, BNN mencatat 73 narkoba jenis baru. Sebanyak 65 jenis di antaranya sudah masuk dalam peraturan menteri kesehatan. Narkotika jenis baru juga disebut new psychoactive substances (NPS) yang jumlahnya terus bertambah. Ini tak ubahnya membuat oplosan narkotika demi memunculkan sensasi baru, lebih mematikan, sekaligus menggaet pasar.
Laman Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) periode 2009-2016 mencatat 739 jenis NPS di dunia. Pada 2015 ada sekitar 500 jenis NPS beredar di seluruh dunia yang dikembangkan dari 80 jenis NPS. Sebagian NPS itu bersifat stimulan. Mengidentifikasi NPS tak mudah karena banyak varian.
Beberapa kategori NPS yang beredar di dunia seperti Cannabinoid sintetis, zat yang menghasilkan efek seperti penggunaan ganja. Sering dicampur dengan produk herbal, dengan beberapa nama pasaran seperti spice, K2, maupun Kronic. Selain itu ada Cathinone sintetis, turunan dari zat cathinone yang mengandung komponen dalam tanaman khat. Memiliki efek stimulan.
Hasil tes laboratorium BNN terhadap sampel narkotika yang disita membuktikan masuknya narkotika jenis baru, yaitu sabu kristal atau blue ice dan ekstasi dari pentylone dan caffeine. Blue ice yang berbentuk bongkahan seperti gula batu itu mengandung metylamphetamine (bahan dasar sabu) hampir 100 persen. Sabu ini merupakan sabu kualitas istimewa. Proses pembuatannya lebih lama daripada sabu biasa.
Adapun ekstasi dari bahan pentylone dan caffeine diyakini lebih kuat efeknya daripada ekstasi yang terbuat dari MDMA atau metilenedioksimetamfetamine (bahan dasar ekstasi). Ekstasi jenis baru yang disita itu berwarna biru muda dengan logo mahkota.
Akhir Januari 2019, BNN menggerebek laboratorium klandestin di Medan, Sumatera Utara, yang memproduksi pil ekstasi jenis baru dengan bahan BMDP (3,4-methylenedioxy-N-benzylcathinone).
Memiskinkan bandar
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Benny Mamato mengatakan, Indonesia masih menjasi pasar potensial bagi sindikat narkoba internasional karena angka permintaan masih tinggi.
Hal ini karena belum berhasil menekan angka permintaan. Program rehabilitasi masih sangat kurang sehingga para penyalahguna akan terus membutuhkan narkoba. Kemampuan rehabilitasi hanya sekitar 18.000 orang per tahun, sementara yang harus di rehab sekitar 3-4 juta orang.
Menurut Benny, operasi pemberantasan berhasil jika tidak diimbangi rehabilitasi yang maksimal maka, justru harga narkoba akan naik. Disini berlaku hukum pasar. Konsep yg benar adalah keseimbangan antara menekan pasokan (dengan pemberantasan) dan menekan permintaan (dengan pencegahan secara masif dan rehabilitasi secara massal).
“Indonesia masih perlu darurat narkoba dan menyatakan perang terhadap narkoba. Darurat narkoba konotasinya adalah menolong dan menyelamatkan para korban narkoba dengan rehabilitasi. Mencegah yang belum kena dengan program pencegahan. Perang terhadap narkoba konotasinya adalah perang terhadap sindikat. Hukum seberat mungkin dan miskinkan para bandar ddengan pasal pencucian uang dan sita hartanya. Kalau kita keras dan konsisten maka sindikat internasional akan takut masuk Indonesia,” kata Benny.