RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dinilai Kurang Muatan Pencegahan
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi upaya penghentian kekerasan dan eksploitasi seksual. Namun, draf yang dirancang terlalu mengedepankan hukuman dibandingkan pencegahan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi upaya dalam menghentikan kekerasan dan eksploitasi seksual yang terjadi di masyarakat. Namun, draf yang dirancang terlalu mengedepankan hukuman dibandingkan langkah pencegahan. Selain itu, beberapa poin berpotensi menjadi pasal karet karena multitafsir.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily saat diskusi pemaparan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, di Bandung, Sabtu (2/3/2019), menyatakan, undang-undang ini mendesak untuk disahkan sehingga perlindungan perempuan dan anak terhadap kekerasan seksual bisa lebih kuat. Namun, draf yang dirancang masih perlu perbaikan sehingga diskusi bersama para pakar dan tokoh masih diperlukan.
”Kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat mulai meresahkan. Payung hukum dalam menangani kasus pelecehan seksual (saat ini) hanya menjerat pelaku, tetapi tidak memperhatikan kondisi korban, seperti pemulihan mental korban. Kami berharap undang-undang ini segera disahkan,” ujarnya.
Dalam diskusi yang diselanggarakan Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP Persis) ini, hadir beberapa pakar hukum dan lembaga peduli perempuan. Ada beberapa poin yang dipermasalahkan, mulai dari definisi yang berpotensi multitafsir hingga produk hukum yang dirancang cenderung mengedepankan langkah pidana dibandingkan pencegahan. Menurut Ace, hal ini menjadi pertimbangan bagi perbaikan rancangan ke depan.
Koordinator Sapa Institut Sri Mulyati mendukung undang-undang ini perlu disahkan secepatnya agar segala bentuk kekerasan seksual bisa ditindak.
”Hukum Indonesia baru mengakui dua bentuk kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan dan pencabulan. Padahal, ada sembilan bentuk kekerasan seksual yang dialami korban, di antaranya pemaksaan perkawanan dan pemaksaan aborsi,” lanjutnya.
Hukum Indonesia baru mengakui dua bentuk kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan dan pencabulan. Padahal, ada sembilan bentuk kekerasan seksual yang dialami korban, di antaranya pemaksaan perkawanan dan pemaksaan aborsi.
Sri menuturkan, hingga saat ini tidak banyak laporan kekerasan seksual menjadi perhatian penegak hukum karena tidak memiliki produk hukum yang bisa menjerat pelaku. Dari 375 laporan kekerasan terhadap perempuan di lima kabupaten di Jawa Barat, 153 merupakan kasus kekerasan seksual. Namun, hanya 10 persen yang diputus di pengadilan.
Sementara itu, dalam undang-undang ini, ucap Sri, sembilan kekerasan seksual mendapatkan jerat pidana. Selain itu, hak korban pun diberikan sehingga tidak ada keraguan bagi korban untuk melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialami.
Namun, rancangan undang-undang yang ada masih mengedepankan hukuman dibandingkan pencegahan.
Wakil Sekretaris Umum PP Persis Aay Muhammad Furkon menyatakan, RUU ini perlu direvisi karena lebih banyak mengandung poin hukuman dibandingkan pencegahan. Dari 152 pasal, hanya enam pasal yang berisi upaya pencegahan dan satu pendidikan, sedangkan pasal pidana mencapai 61 pasal.
”Padahal, pencegahan itu lebih diperlukan agar tidak terjadi kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang marak akhir-akhir ini ditampilkan di media sosial begitu mengkhawatirkan, sudah di luar nalar. Jadi, undang-undang ini sangat urgen,” ujarnya.
Pasal karet
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat, RUU ini perlu direvisi dan tidak hanya memasukkan unsur pidana, tetapi juga mengedepankan unsur pencegahan. Selain itu, definisi kekerasan seksual dalam rancangan ini perlu diperbaiki karena tidak memiliki batasan yang jelas.
Poin yang dianggap melebar dan berpotensi kriminalisasi adalah munculnya pernyataan faktor hasrat seksual dan lainnya yang dikhawatirkan menjadi pasal karet dan rentan kriminalisasi.
Menurut Atip, hasrat seksual tidak bisa menjadi alasan untuk memidanakan seseorang karena tidak jelas wujudnya. Kondisi ini justru rentan dikriminalisasi.
”Karena itu, definisi RUU ini perlu diperbaiki. Poin-poin tersebut jelas akan menyulitkan penegak hukum karena tidak memiliki landasan yang jelas dan alat bukti yang tidak bisa diperlihatkan,” ujarnya.
Dalam rancangan tersebut, disebutkan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi jender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik