JAKARTA, KOMPAS — Sarung yang merupakan bagian dari kekayaan wastra Nusantara mengalami peminggiran karena sekarang hanya diidentikkan dengan busana untuk beribadah maupun acara tradisional. Sudah waktunya sarung kembali menjadi bagian dari busana untuk kehidupan sehari-hari.
"Pada masa perjuangan kemerdekaan, sarung adalah bagian dari konsep berdikari, yaitu menjadi bangsa yang maju dan modern dengan tetap membawa identitas Indonesia," kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dalam diskusi "Sarung, Budaya Nusantara, dan Tantangan Global" di Jakarta, Jumat (1/3/2019). Acara ini bagian dari Festival Sarung Nusantara yang puncaknya diadakan pada 3 Maret di stadion Gelora Bung Karno.
Hilmar mengatakan, dalam konsep berbusana, baik mode tradisional maupun modern, ada pernyataan yang hendak diutarakan. Wastra Nusantara mengatakannya melalui corak dan warna. Di dalamnya terdapat kosmologi, cerita, doa, dan nilai. Aspek ini yang memberi nilai tambah pada wastra dibandingkan kain yang hanya diproduksi untuk kebutuhan praktis.
Pakar wastra dari Wastraprema, Neneng Iskandar mengatakan, sarung adalah kain panjang ataupun yang berbentuk silinder yang dikenakan dari pinggang ke bawah. Jenis pakaian ini khas di seluruh penjuru Nusantara karena cocok dengan udara tropis yang panas dan lembab. Pemakaiannya juga sangat luas mulai dari selimut, gendongan bayi, hingga mahar pernikahan karena setiap jenis sarung memiliki makna tersendiri.
Modern
Saat ini, sarung tengah digalakkan agar kembali menjadi bagian dari busana modern, terutama untuk generasi muda. Penasihat Indonesian Fashion Chamber Dina Midiana misalnya, mempromosikan pemakaian sarung dengan slogan "sarung adalah denim yang baru". Alih-alih mengenakan celana atau pun rok denim, bisa diganti dengan sarung karena sehelai wastra itu bisa dililit dan diikat dengan berbagai teknik sehingga dapat dikreasikan sesuka hati.
"Pandangan mode dunia, bahkan Indonesia, masih melihat wastra sebagai busana \'etnik\'. Ini sebenarnya pemikiran kolonial yang merendahkan busana-busana non barat. Justru, orang Indonesia yang harus memunculkan kembali kebanggaan memakai wastra seperti sarung bukan gaya \'etnik\' melainkan memang gaya Indonesia," tuturnya.
Meskipun begitu, perancang busana Samuel Wattimena yang bertindak sebagai kurator pada festival ini mengingatkan bahwa jangan sampai sarung jatuh pada kategori kain karena akan mengakibatkan produksi massal yang tidak lagi mengedepankan nilai, mematikan perajin, dan memudarkan arti dari budaya sarung itu sendiri.
Evolusi corak
Samuel mengatakan, butuh diskusi antara perajin dengan para pekerja kreasi muda. Menjadikan sarung sebagai busana modern butuh cara lebih daripada sekadar memadu-padankan dengan sepatu sneakers, baju kaos, dan jas. Harus ada pengenalan makna corak kepada generasi muda.
"Selain itu, dialog antara perajin dan generasi muda memungkinkan terjadinya evolusi corak," ujarnya. Tanpa ada dialog, corak tradisional akan mati karena tidak diminati anak muda dengan alasan tidak mewakili nilai dan persepsi budaya masa kini.
Oleh karena itu, para perajin mulai membuat wastra dengan dua tujuan, yaitu melestarikan corak tradisional dan mengembangkan pasar baru untuk generasi muda. Melalui cara ini, produksi wastra dalam konteks modern tidak akan menghentikan regenerasi maestro untuk corak tradisional yang merupakan cerminan budaya.
Samuel memaparkan, pada masa mode cepat (fast fashion) pemakaian wastra Nusantara tetap bisa dilakukan tanpa mengorbankan mutu dan produktivitas. Menurut dia, hadirnya mode cepat adalah karena kebutuhan masyarakat untuk tampil gaya tanpa memerlukan biaya yang banyak untuk membeli pakaian.
"Memang wastra tradisional yang kaya corak dan dibuat dengan teknik rumit tidak akan bisa dibeli dengan harga murah. Namun, kita bisa berdialog dengan perajin. Misalnya, konsumen usia muda memiliki anggaran terbatas, kira-kira wastra seperti apa yang bisa diproduksi dengan biaya relatif rendah?" ujarnya.
Wastra yang dihasilkan bisa memiliki corak lebih sederhana dan sesuai dengan selera anak muda yang minimalis. Akan tetapi, standar produksinya tetap terjaga, yaitu menggunakan benang dan pewarna alami yang ramah lingkungan. Menurut Samuel, cara ini juga bisa menjadikan sistem mode cepat tidak mubazir kain dan tidak menghasilkan limbah.