Istilah “babi kuning” lama menjadi sekadar bisik-bisik di kalangan aparatur Pemprov DKI Jakarta dahulu. Walaupun menyebut nama hewan, istilah itu jauh sekali dari jenis binatang babi yang kita kenal. “Babi kuning” tidak lain singkatan sinis dari “batak-bima kuningan”.
Konon, istilah itu merupakan sinisme dari semacam praktik “persengkongkolan etnik” atau kesukuan di lingkungan Pemprov DKI. Pejabat dari kelompok etnis tertentu akan menempatkan rekan-rekan mereka yang juga dari daerahnya.
Setelah lama sekadar menjadi bisik-bisik atau canda sinis di obrolan terbatas, istilah “babi kuning” itu kemudian diangkat ke permukaan oleh Basuki Tjahaja Purnama saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, saat upacara peringatan hari ulang tahun ke-70 Kemerdekaan RI di Lapangan Monas, Jakarta, 17 Agustus empat tahun lalu.
Saat itu, Basuki mengungkapkan, di bawah kepemimpinannya, lingkungan Pemprov DKI harus terwujud keadilan sosial dan tidak boleh ada diskriminasi di bidang apapun. Hal itu juga berlaku di kalangan pegawai negeri sipil Pemprov DKI. Mereka, terutama yang mengisi jabatan-jabatan penting, harus menjalani seleksi terbuka dan jujur. Lelang jabatan pun ditempuh. Dengan demikian, mereka yang memegang jabatan pimpinan di berbagai dinas, memang mampu dan terbaik.
“Tidak ada lagi istilahnya ‘babi kuning’ yang terkenal kelompok batak, bima, dan kuningan. Enggak ada lagi istilah kelompok betawi atau siapapun. Semua harus dites. Jadi kalau kamu tidak mampu, kami akan copot,” kata Basuki.
Tidak ada lagi istilahnya ‘babi kuning’ yang terkenal kelompok batak, bima, dan kuningan. Enggak ada lagi istilah kelompok betawi atau siapapun. Semua harus dites. Jadi kalau kamu tidak mampu, kami akan copot
Dengan berbagai persoalan yang demikian kompleks, Jakarta memang membutuhkan pemimpin atau pejabat yang andal, mampu di setiap bidangnya. Mereka harus dipilih karena kemampuannya, bukan karena kedekatan atau balas jasa semata. “Babi kuning” adalah masa lalu yang sudah dan seharusnya ditinggalkan dan dilupakan.
Mungkin karena bukan hal mudah itu pula, rotasi terakhir terhadap 1.125 pejabat yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, membuat 16 posisi pejabat pratama yang kosong diisi pelaksana tugas. Sejumlah pejabat merangkap tugas untuk mengisi kekosongan itu. Kepala Badan Kepegawaian Daerah DKI Chaidir mengatakan, kinerja pelayanan publik lembaga yang dipimpin pelaksana tugas akan tetap berjalan baik karena pejabat di lapis kedua sudah diisi seluruhnya (Kompas, 28 Februari 2019).
Sejumlah kalangan belum terisinya sejumlah posisi jabatan akan memperlambat realisasi program. Menjawab kekhawatiran itu, Gubernur DKI Anies Baswedan mengatakan, posisi pejabat tersebut harus dikosongkan untuk selanjutnya diadakan lelang jabatan dalam waktu dekat.
“Publik tidak perlu lagi mengulik lagi alasan sejumlah pejabat didemosi,” katanya.
Selanjutnya di seleksi terbuka dari lelang jabatan itu, Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta akan melakukan sejumlah proses. Masyarakat mengetahui proses seleksi untuk menduduki suatu jabatan tersebut antara lain sebagai tes kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test. Semoga bukan plesetan fit and proper cash !