Berpotensi Hilangkan Hak Pemilih, UU Pemilu Diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS - Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society atau Integrity akan mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi, pada Selasa (5/2/2019). Uji materi itu bertujuan menyelamatkan potensi hilangnya hak pilih jutaan masyarakat Indonesia yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk elektronik.
Senior Partner Integrity Denny Indrayana, melalui siaran pers yang diterima Kompas, Minggu (3/2/2019) malam, mengatakan, ada jutaan rakyat Indonesia yang berpotensi kehilangan haknya untuk memilih pada pemilihan umum 17 April tahun 2019. Penyebabnya karena mereka belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik. Potensi itu terjadi karena dalam UU Pemilu mensyaratkan agar masyarakat yang memilih harus mempunyai KTP elektronik.
"Syarat prosedural administratif demikian harus dihilangkan dan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Apalagi tidak dimilikinya KTP elektronik, bisa jadi bukan karena kelalaian dari pemilih," kata dia.
Denny menambahkan, persoalan perpindahan Tempat Pungutan Suara (TPS) juga berpotensi menghilangkan hak suara masyarakat karena pemilih hanya bisa memilih presiden. Berbagai syarat administratif itu dinilai bertentangan dengan Konstitusi yang menjamin hak pilih warga negara.
Dari catatan Kompas, warga yang terancam kehilangan hak pilih berada di Provinsi Papua. Data KPU provinsi itu, menunjukkan proses perekaman KTP elektronik hingga Desember 2018 baru 42,32 persen. Artinya sekitar dua juta pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Papua yang belum melakukan perekaman KTP elektronik terancam untuk tidak memilih dalam pemilu presiden dan anggota legilslatif pada 17 April 2019.
Persoalan serupa juga mengancam 6.000 orang pekerja sebuah perusahaan tambang di Teluk Bintuni, Papua Barat. Mereka terdata sebagai daftar pemilih tetap pindahan baru (DPTb) yang berpotensi tidak memilih karena jarak TPS dan lokasi pabrik cukup jauh.
Padahal, kata Denny, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 01-017/PUU-I-2003, menyebutkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional. Ketentuan itu diperkuat dengan Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 yang mensyaratkan hak konstitusional warga tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh ketentuan administratif apapun yang mempersulit masyarakat dalam memilih.
"Permohonan akan diajukan untuk menguji konstitusionalitas berbagai norma dalam UU Pemilu yang berpotensi membatasi, meniadakan, dan menghapuskan hak warga negara untuk memilih dalam Pemilu 2019," ujarnya.
Uji materi itu diajukan oleh beberapa pemohon yang belum memilili KTP elektronik, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemilu, dan perorangan yang peduli dengan persoalan hukum tata negara dan kepemiluan.
"Kami memohon kepada MK untuk dapat menjadi solusi dari persoalan konstitusional tersebut. Juga memutus dalam waktu yang tidak terlalu lama, mengingat hari pemungutan suara sudah tinggal satu setengah bulan lagi," ucap Denny.
Tidak bertentangan
Namun, ahli hukum administrasi negara Universitas Nusa Cendana Kupang, Jhon Tuba Helan mengatakan, uji materi UU Pemilu hanya dilakukan jika UU itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sementara UU Pemilu sama sekali tidak bertentangan dengan aturan manapun termasuk UUD 1945.
"UUD 1945 memang menjamin hak-hak sipil setiap warga negara, termasuk hak memilih dan dipilih dengan syarat tertentu. Dan syarat itu sudah ditentukan dalam UU Pemilu," kata dia.
Uji materi itu juga dinilai tidak menjawab persoalan karena waktu pemilihan umum yang semakin singkat. Adapun proses untuk bersidang di MK bisanya dilakukan dengan memprioritaskan setiap gugatan yang didaftarkan terlebih dahulu.
Oleh karena itu, kata Jhon, upaya yang dilakukan adalah menagih komitmen pemerintah dalam melaksanakan UU Pemilu yang sudah diundangkan sejak tahun 2017. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak pro aktif dalam menyelesaikan proses perekaman KTP elektronik tepat waktu.
"Solusinya, pemerintah melalaui Kemendagri mempercepat proses perekaman KTP elektronik atau berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum menerbitkan surat keterangan kependudukan dari pemerintah setempat yang bisa dibuktikan dengan Kartu Keluarga atau identitas lain," katanya.