Butuh Kepedulian Masyarakat untuk Hancurkan Gunung Es Kekerasan Anak
Terungkapnya kasus kekerasan seksual inses yang menimpa AG (18), difabel asal Kabupaten Pringsewu, Lampung, menunjukkan ancaman terhadap anak kian nyata. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi di kota besar tapi menghantui pelosok desa.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
Terungkapnya kasus kekerasan seksual inses yang menimpa AG (18), difabel asal Kabupaten Pringsewu, Lampung, menunjukkan ancaman terhadap anak kian nyata. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga menghantui pelosok desa.
Sepekan terakhir, kasus itu menjadi sorotan sejumlah media arus utama dan media sosial. Kasus itu menyita perhatian banyak pihak karena orangtua dan saudara kandung AG yang semestinya melindungi justru jadi pelakunya.
Kekerasan seksual itu berlangsung selama setahun terakhir. Para pelaku, yakni JM (45), ayah kandung korban, serta SA (24) dan YF (16), saudara laki-laki korban, memanfaatkan ketidakberdayaan AG, seorang difabel grahita yang tidak lagi memiliki ibu. Kasus itu terungkap setelah Tarseno, salah satu relawan satgas perlindungan anak di Pringsewu, melapor kepada polisi.
Terkuaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di satu sisi semakin menebar kerisauan dan ketakutan. Namun, di sisi lain, hal itu menjadi indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), jumlah anak Indonesia mencapai 87 juta jiwa. Adapun menurut Survei Kekerasan Anak Indonesia, pada 2014 ditemukan, prevalensi kekerasan seksual pada kelompok laki-laki dan perempuan usia 18-24 tahun tinggi. Jenis kekerasan seksual sebelum umur 18 tahun yang dialami anak laki-laki sebesar 6,36 persen dan anak perempuan 6,28 persen (Kompas, 21 Maret 2017).
Hingga kini, kekerasan seksual terhadap anak masih dinilai sebagai fenomena gunung es. Kasus yang terungkap hanya sedikit dibandingkan dengan yang sesungguhnya terjadi. Peran masyarakat sekitar untuk mendeteksi kekerasan seksual amat penting.
Deputi Bidang Perlindungan Anak di Kementerian PPPA Nahar saat datang ke Pringsewu, Kamis (28/2), mengatakan, kepedulian Tarseno selaku pelapor kasus AG patut diapresiasi. Menurut dia, pengungkapan kasus kekerasan seksual di Pringsewu yang melibatkan peran masyarakat dapat menjadi contoh bagi daerah lain. Dia memberikan piagam kepada Tarseno dan satgas perlindungan anak di Pringsewu yang mengawal kasus AG.
Tindak lanjut
Kementerian PPPA berkoordinasi dengan sejumlah instansi terkait untuk membahas upaya penanganan kasus AG. Nantinya, penanganan kasus itu juga akan menjadi model bagi penanganan kasus serupa.
Sejumlah kesepakatan muncul, yakni terkait upaya pemetaan terhadap anak penyandang disabilitas di daerah, memberi edukasi kepada keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus dan masyarakat di sekitarnya, serta menjamin pendidikan untuk korban dan pelaku yang masih berstatus anak.
Yurni, psikolog anak dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung, mengatakan, kasus AG bukan yang pertama. Selama Januari-Februari 2019, P2TP2A Lampung telah menangani 16 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sebagian korban merupakan anak penyandang disabilitas, difabel rungu, dan difabel grahita.
Menurut dia, masyarakat bisa berperan dengan melakukan deteksi dini terhadap lingkungannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan, misalnya, perubahan fisik dan perilaku korban.
Korban yang mengalami kekerasan seksual hingga hamil biasanya mengubah cara berpakaian. Korban akan lebih sering mengenakan pakaian longgar untuk menutupi perutnya.
Selain itu, korban yang mengalami tekanan dan ancaman biasanya berubah menjadi pemurung dan pendiam. Kondisi fisiknya juga terlihat semakin kurus. Kondisi itu persis seperti yang dialami AG.
Ketua Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi meminta pemerintah daerah memperkuat satuan tugas perlindungan anak. Keberadaan satgas ini dinilai dapat membantu pengungkapan kasus dan mencegah terjadi kekerasan seksual pada anak.
Pelaporan kasus kekerasan seksual yang dialami AG ke polisi setidaknya menunjukkan partisipasi masyarakat melindungi anak-anak dari kekerasan. Harapannya, gerakan-gerakan berbasis masyarakat seperti itu tumbuh terus di desa atau kelurahan di seluruh Tanah Air.
Masyarakat, terutama orangtua, semestinya berada di garda terdepan perlindungan anak. Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak harus menggugah nurani masyarakat untuk lebih peduli.