Implementasi Pemilu Serentak Perlu Dikaji
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah partai politik ingin mengkaji ulang implementasi sistem pemilihan umum serentak yang untuk pertama kalinya diadakan tahun ini. Sejauh ini, penerapan sistem yang menggabungkan pemilihan legislatif dan presiden itu dinilai tidak mampu menghasilkan sistem presidensial yang efektif serta bisa mempertajam polarisasi di masyarakat.
Dengan mekanisme yang berlaku sekarang, penerapan sistem pemilu serentak dianggap merugikan partai-partai kecil dan menengah yang tidak mengajukan tokohnya sebagai calon presiden dan wakil presiden di pemilihan presiden. Sistem tersebut juga dinilai merugikan pasangan capres-cawapres itu sendiri.
Di satu sisi, mayoritas partai politik koalisi pendukung capres-cawapres tidak mendapat efek elektoral ekor jas dari pasangan calon yang didukung. Keuntungan itu hanya dirasakan partai utama pengusung paslon. Di sisi lain, paslon juga tidak mendapat dukungan mesin partai koalisi yang maksimal untuk pemenangannya di pilpres.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Baidowi mengatakan, ke depan, mekanisme sistem pemilu serentak perlu dikaji ulang agar lebih efektif. Salah satu caranya, dengan menurunkan syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Ke depan, mekanisme sistem pemilu serentak perlu dikaji ulang agar lebih efektif. Salah satu caranya, dengan menurunkan syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Menurut dia, ambang batas tetap dipertahankan, tetapi diturunkan dari 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara sah nasional, menjadi 10 persen atau 4 persen perolehan suara sah nasional – sesuai persentase ambang batas parlemen. Ini dapat dicapai melalui upaya uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, usai pemilu, April mendatang.
“Ke depan mekanismenya harus diatur ulang supaya tidak begini. Partai-partai yang lolos masuk parlemen, lolos ambang batas 4 persen, bisa mengajukan capres-cawapresnya sendiri juga,” kata Baidowi.
Pemilu serentak dengan ambang batas yang tinggi membuat partai-partai setengah hati memenangkan pasangan capres-cawapres yang didukung. Partai akan lebih fokus memikirkan perolehan suaranya di pileg daripada memastikan paslon yang diusung menang pilpres. Secara jangka panjang, masalah soliditas koalisi partai pendukung ini dapat berpengaruh pula pada efektivitas sistem presidensial ketika menjabat.
Baidowi mengatakan, idealnya, ambang batas pencalonan presiden 20/25 persen dapat memunculkan empat sampai lima pasangan capres-cawapres. Namun, kenyataannya, Pemilu 2014 dan 2019 hanya menghasilkan dua paslon yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Munculnya dua capres yang sama untuk 10 tahun berturut-turut ini juga berdampak pada kehidupan sosial masyarakat yang semakin terpolarisasi.
“Tidak hanya politisi yang terbelah, urusan pertemanan dua sahabat dan suami istri saja bisa terpecah ke dua kubu,” katanya.
Uji UU Pemilu
Wakil Bendahara Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan mengatakan, dalam berbagai pembicaraan informal, partai-partai khususnya yang tokohnya tidak maju di pilpres, sering menyinggung perlunya mengkaji ulang penerapan sistem pemilu serentak ini. Oleh karena itu, menurutnya, keinginan politik (political will) untuk menguji materi UU Pemilu maupun merevisi UU Pemilu pasca April nanti memungkinkan.
“Sangat bisa, karena kondisi ini dirasakan oleh semua partai, bukan hanya partai kecil menengah, bahkan termasuk partai-partai utama pengusung capres. Caleg mereka juga sebenarnya kesulitan mau mengampanyekan capres yang didukung partai di wilayah basis lawan,” ujar Daniel.
Kegelisahan terkait implementasi sistem pemilu serentak ini diutarakan ke publik oleh Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, dalam pidato politiknya, Jumat (1/3/2019) lalu.
Dalam pidatonya, Agus mengatakan, dengan pemilu serentak, hanya partai pengusung utama calon presiden yang mendapat efek elektoral terbesar. Berbagai hasil survei menunjukkan, hanya PDI-P dan Gerindra sebagai partai asal Jokowi dan Prabowo, yang elektabilitasnya melejit.
Menurut Agus, pemberlakuan sistem pemilu serentak seperti saat ini bisa mematikan sistem multipartai. Indonesia akan seperti Amerika Serikat yang terdiri dari dua partai besar, Demokrat dan Republik. Ia pun mengajak siapapun presiden yang terpilih mendatang untuk mengkaji kembali cetak biru dan arah sistem kepartaian Indonesia ke depan.
“Pasca pemilu ini, kita semua harus duduk bersama, melakukan dialog utuk membangun konsensus nasional tentang sistem politik apa yang paling cocok bagi bangsa kita di masa mendatang,” kata Agus.
Pasca pemilu ini, kita semua harus duduk bersama, melakukan dialog utuk membangun konsensus nasional tentang sistem politik apa yang paling cocok bagi bangsa kita di masa mendatang
Demokrat fokus pileg
Dalam konferensi pers, kemarin, kegelisahan ini diungkapkan kembali oleh Agus. Demokrat, ujarnya, tidak berharap mendapat efek ekor jas dari Prabowo. Oleh karena itu, langkah politik Demokrat dalam Pemilu 2019 ini lebih berorientasi pada percepatan pemenangan pileg.
Menurut dia, pertarungan pemilu kini terletak di tataran caleg. “Kami namakan strategi itu caleg oriented strategy, sebuah strategi yang berorientasi pada perjuangan caleg. Jika caleg populer, rajin turun ke bawah, dan memiliki program rasional, bisa sukses,” katanya.
Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor berpendapat, penerapan pemilu serentak saat ini tidak kondusif dan efektif, karena bukan hanya merugikan partai kecil-menengah, tetapi juga masyarakat pemilih.
Ambang batas pencalonan presiden yang terlalu tinggi semakin mempertegas oligarki di mana panggung politik dikuasai segelintir elite tertentu. Pilihan calon menjadi terbatas dan tidak alami, karena tokoh yang muncul ke permukaan adalah figur-figur yang terlibat kontrak dengan partai-partai politik, atau elite pemimpin partai yang memiliki modal finansial besar utuk maju.
Syarat pencalonan presiden yang terlalu tinggi menghambat munculnya tokoh-tokoh baru yang segar, membumi, dan tidak punya keterikatan dengan partai-partai yang berkuasa.
“Publik perlu mendapat sosok capres yang alami, bukan hasil kongkalikong yang ditentukan oleh kekuatan partai di parlemen. Dengan kata lain, tokoh yang terbebas dari kontrak antar partai,” kata Firman.
Syarat pencalonan presiden yang terlalu tinggi menghambat munculnya tokoh-tokoh baru yang segar, membumi, dan tidak punya keterikatan dengan partai-partai yang berkuasa.
Syarat ambang batas yang tinggi juga berpotensi mempertajam polarisasi di akar rumput. Kontestasi pilpres membuat pengkotakan kubu di masyarakat semakin awet. Publik terpecah menjadi dua kubu pendukung capres-cawapres dan lebih mudah tersulut dalam menyikapi perbedaan pandangan politik.
“Jika ambang batas diturunkan, akan ada peluang munculnya capres-cawapres lain sehingga polarisasi tidak terlalu tajam. Namun, perlu diperhatikan juga agar pemilu dengan kandidat banyak itu tidak berlanjut ke putaran kedua. Kalau ada putaran kedua, sama saja, karena calon tetap head to head dan transaksi politiknya lebih kental terasa,” kata Firman. (Dionisio Damara)